Tampilan mie yang kemudian muncul di hadapanku serupa dengan cwie mie. Semangkok mie, dengan taburan ayam cacah, ditemani semangkok kuah di sisinya. Tanpa pangsit, brambang (bawang merah) goreng, dan potongan acar mentimun-cabai. Pun ketika kucoba melongok dasarnya, tak kutemukan potongan sayur sawi rebus atau selada yang biasanya menghiasi semangkok cwie mie.
Selebihnya?
Sebelas-dua belas dengan cwie mie.
Perkara topping kiranya bukan perkara prinsip. Ada atau tidak pangsit, acar, dan sayur bukanlah hal besar.
Andai saya makan dengan mata tertutup, kiranya tak mudah membedakan mie Nursijan dengan cwie mie.
Walaupun, tentu saja, mie-nya akan kececeran kalau saya makan sambil merem.
Namun memang, kalau mau lebih teliti sedikit, minyak bawang dalam mie Nursijan terasa lebih soft daripada minyak bawang dalam cwie mie yang lebih medok.
Kenyang makan mie, saatnya melonggarkan ikat pinggang sejenak sebelum kulineran lagi. Ke mana lagi kalau bukan ke SOES STORY.
Walaupun menjual berbagai menu lain, toko kue yang memiliki speciality choux dengan resep lama ini berdiri tahun 2005 dan dikelola oleh Pak Freddy. Varian isiannya antara lain original, chocolate, marie regal, matcha, strawberry, cappuccino, dan keju. Kata Pak Freddy, para pelanggan wanita paling suka varian matcha.
Eh, kok choux? Katanya jualan kue soes...