Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Money

Warung, oh... Warung

4 Mei 2013   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tulisan Kompasianer Dewi Sumardi mengenai penglaris dagangan (baca di sini) mengingatkanku pada dinamika "abu-abu" dunia kuliner yang sempat aku amati.

Sebagai orang kantoran, aku jarang makan siang di rumah. Jadilah aku pelanggan beberapa warung yang ada di sekitar kantor. Sebenarnya ditilik dari segi rasa, tidak ada warung yang menonjol, alias standar saja. Tapi karena warung yang tersedia hanya itu, dan kebijakan kantor bahwa tidak ada rehat makan siang (sehingga aku tidak bisa kabur cari makan di luar), aku jadi mengandalkan warung-warung itu untuk mengisi perut.

Ada beberapa warung yang sudah puluhan tahun bercokol di kantor. Warung A bahkan sudah diteruskan anaknya. Warung B merangkap tempat tinggal juru kunci Balaikota. Warung C berawal dari usaha rombong bakso yang karena kebaikan hati para pejabat, akhirnya dibuatkan warung.

Di luar ketiga warung itu sebenarnya banyak warung lain yang coba-coba mengadu nasib di sekitar kantorku. Tapi tidak ada yang bertahan lama. Warung C sempat punya pesaing sesama penjual bakso, tapi si pesaing ini lama-lama tutup juga karena tidak tahan intimidasi dari Warung C. Si pesaing ini tidak boleh membawa dagangannya lewat di depan Warung C. Untuk bisa berjualan di wilayah Balaikota, si pesaing harus ambil jalan memutar sehingga menempuh jarak yang cukup jauh. Padahal si pesaing ini penjual bakso pikul. Tak terbayangkan berat dan payahnya si penjual memikul dagangannya hanya untuk mengais rupiah.

Lama-lama si pesaing menyerah juga. Ia tak lagi berdagang di Balaikota. Aku dan teman-teman kantor menyayangkan karena sebenarnya rasa baksonya lebih enak daripada yang dijual Warung C.

Lalu datanglah Mbak X yang berjualan nasi. Sebenarnya wilayah jualannya di luar pagar Balaikota. Cukup enak juga makanannya, apalagi rujak cingurnya. Tapi entah kenapa warungnya sepi-sepi saja. Padahal letaknya cukup strategis karena dekat situ ada kantor pemerintah, beberapa bank, dan beberapa sekolah. Secara logis, kecil kemungkinan warung ini dijauhi pelanggan karena selain Mbak X ini ramah-tamah, masakannya enak, dan letak warungnya strategis.

Ketika Mbak X akhirnya menyerah, aku dan teman-temanku sempat menemani dia memberesi barang-barangnya. Mbak X bercerita, ia sebenarnya penasaran juga kenapa warungnya tidak laku. Dari pengalamannya berjualan makanan, baru kali ini warungnya tidak dijenguk pelanggan. Akhirnya ia mengunjungi "orang pintar" untuk konsultasi. Menurut si "orang pintar", warung Mbak X memang dipasangi "sesuatu" sehingga jualannya tidak laku.

Karena tidak percaya, Mbak X memboyong si "orang pintar" ini ke warungnya. Dengan kemampuannya, si "orang  pintar" ini bisa mengeluarkan sebatang  paku yang menancap di etalase jualan Mbak X. Ajaib! Padahal permukaan etalase itu licin, tidak tampak permukaan tidak rata seperti bila ada paku menancap. Kata si "orang pintar", paku ini sengaja dipasang oleh pesaing Mbak X supaya dagangannya tidak laku.

Walaupun tidak percaya pada si "orang pintar", Mbak X tetap menutup usahanya. Kapok, rupanya. Dan kami pun terpaksa kembali berlangganan pada warung-warung A, B, dan C itu, karena tidak ada pilihan lain.

Hari Kamis yang lalu, sehabis upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, kami sekantor mendapat instruksi untuk menghadiri pembukaan Warung 123, warung baru di lingkungan Balaikota. Kami sulit berkelit karena pemilik warung ini adalah Pak YZ, pensiunan pejabat dan pernah menjadi bos kami.

Hidangannya tidak istimewa juga. Menunya standar: nasi soto (daging dan ayam), nasi sop, nasi campur, dan nasi lodeh. Mungkin karena masih baru buka, sehingga pilihan menunya masih sedikit.

Ketika kembali ke kantor, kami tidak tahan untuk tidak kasak-kusuk. Mengingat pengalaman yang ada, kami bersimpati pada Pak YZ. Kami kasihan bila (na'udzubillah min dzalik) warung Pak YZ akan mengalami nasib yang sama dengan warung-warung yang mencoba eksis di lingkungan kerja kami dan akhirnya gagal total. Sebagai mantan birokrat, kami tidak yakin Pak YZ bermental pengusaha untuk menghadapi dinamika dunia kuliner. Terutama, kami khawatir Pak YZ tidak siap menghadapi upaya warung-warung lain untuk menghadapi pesaing baru, termasuk "serangan mistis".

Apakah dinamika "abu-abu" ini hanya terjadi di lingkungan kerjaku saja? Rupanya tidak.

Salah satu tanteku yang punya warung akhirnya tutup. Setiap kali menanak nasi untuk dijual di warung, nasinya selalu busuk dan berbau. Padahal Tante sudah berusaha menanak nasi sebaik-baiknya. Nasi tetap busuk, baik dimasak menggunakan dandang maupun rice-cooker. Nasi yang bisa matang sempurna, tiba-tiba berubah busuk dan berbau ketika hendak dihidangkan pada pelanggan. Katanya, memang sengaja "dibikin" seperti itu oleh tetangga Tante yang sama-sama buka warung.

Kasihan Tante. Padahal suaminya sedang butuh biaya besar setelah terkena stroke untuk kedua kalinya. Tante akhirnya mengalah, menutup warungnya, karena tidak sudi bersaing secara mistis dengan tetangganya. Tante takut ada imbas negatif bila ia membalas perbuatan tetangganya secara mistis pula.

Tidak ada pengusaha yang ingin rugi, apalagi pengusaha makanan yang masa kadaluwarsanya pendek. Ada pengusaha yang main bersih, dengan mengedepankan kualitas dan pelayanan. Namun ternyata ada pula yang menggunakan upaya-upaya "tambahan" untuk bisa eksis. Tidak hanya dalam bentuk penglaris, tapi juga untuk menyingkirkan pesaing bisnisnya.

Segala hal kiranya sah saja dilakukan agar pelanggan datang. Baik atau buruk upayanya, akhirnya kembali pada pelakunya. Secara pribadi, aku percaya semua ada "harganya". Upaya yang baik bisa jadi sulit dilakukan, tapi menjanjikan buah yang manis: rejeki yang halal, thayyib, dan barakah. Upaya yang buruk bisa jadi lebih mudah ditempuh, tapi buahnya seperti apa, kita tak tahu.

Dunia kuliner harusnya tidak diwarnai upaya-upaya semacam ini. Kekayaan kuliner kita harusnya didukung oleh pengusaha-pengusaha jujur yang selalu mengedepankan inovasi dan kualitas dalam suasana persaingan sehat. Biarkan pelanggan yang memilih. Warung yang baik harus mempertahankan kualitas dan melahirkan inovasi baru. Warung yang kurang diminati pelanggan harus juga mawas diri, belajar menilai kekurangan diri sendiri, agar pelanggan jadi berminat.

Rejeki sudah ada yang mengatur, dan tugas kitalah untuk berupaya meraihnya dengan sebaik-baiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun