Ketika kembali ke kantor, kami tidak tahan untuk tidak kasak-kusuk. Mengingat pengalaman yang ada, kami bersimpati pada Pak YZ. Kami kasihan bila (na'udzubillah min dzalik) warung Pak YZ akan mengalami nasib yang sama dengan warung-warung yang mencoba eksis di lingkungan kerja kami dan akhirnya gagal total. Sebagai mantan birokrat, kami tidak yakin Pak YZ bermental pengusaha untuk menghadapi dinamika dunia kuliner. Terutama, kami khawatir Pak YZ tidak siap menghadapi upaya warung-warung lain untuk menghadapi pesaing baru, termasuk "serangan mistis".
Apakah dinamika "abu-abu" ini hanya terjadi di lingkungan kerjaku saja? Rupanya tidak.
Salah satu tanteku yang punya warung akhirnya tutup. Setiap kali menanak nasi untuk dijual di warung, nasinya selalu busuk dan berbau. Padahal Tante sudah berusaha menanak nasi sebaik-baiknya. Nasi tetap busuk, baik dimasak menggunakan dandang maupun rice-cooker. Nasi yang bisa matang sempurna, tiba-tiba berubah busuk dan berbau ketika hendak dihidangkan pada pelanggan. Katanya, memang sengaja "dibikin" seperti itu oleh tetangga Tante yang sama-sama buka warung.
Kasihan Tante. Padahal suaminya sedang butuh biaya besar setelah terkena stroke untuk kedua kalinya. Tante akhirnya mengalah, menutup warungnya, karena tidak sudi bersaing secara mistis dengan tetangganya. Tante takut ada imbas negatif bila ia membalas perbuatan tetangganya secara mistis pula.
Tidak ada pengusaha yang ingin rugi, apalagi pengusaha makanan yang masa kadaluwarsanya pendek. Ada pengusaha yang main bersih, dengan mengedepankan kualitas dan pelayanan. Namun ternyata ada pula yang menggunakan upaya-upaya "tambahan" untuk bisa eksis. Tidak hanya dalam bentuk penglaris, tapi juga untuk menyingkirkan pesaing bisnisnya.
Segala hal kiranya sah saja dilakukan agar pelanggan datang. Baik atau buruk upayanya, akhirnya kembali pada pelakunya. Secara pribadi, aku percaya semua ada "harganya". Upaya yang baik bisa jadi sulit dilakukan, tapi menjanjikan buah yang manis: rejeki yang halal, thayyib, dan barakah. Upaya yang buruk bisa jadi lebih mudah ditempuh, tapi buahnya seperti apa, kita tak tahu.
Dunia kuliner harusnya tidak diwarnai upaya-upaya semacam ini. Kekayaan kuliner kita harusnya didukung oleh pengusaha-pengusaha jujur yang selalu mengedepankan inovasi dan kualitas dalam suasana persaingan sehat. Biarkan pelanggan yang memilih. Warung yang baik harus mempertahankan kualitas dan melahirkan inovasi baru. Warung yang kurang diminati pelanggan harus juga mawas diri, belajar menilai kekurangan diri sendiri, agar pelanggan jadi berminat.
Rejeki sudah ada yang mengatur, dan tugas kitalah untuk berupaya meraihnya dengan sebaik-baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H