Gambar ketiga ini seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Pengendara motor menggunakan lajur kanan untuk masuk, ketimbang mengikuti rambu yang secara jelas menunjukkan motor harus lewat lajur kiri. Pertanyaan yang sama, siapa yang salah? Pengendaranya atau rambunya?
Ketiga contoh di atas, saya menyebutnya sebagai bentuk dari inkonsistensi komunikasi visual yang selama ini dinormalisasi di kehidupan masyarakat Indonesia.
Komunikasi Visual adalah Raja Semua Media Komunikasi
Ketiga contoh di atas sangat berhubungan dengan literasi. Siapapun yang merasa dirinya terliterasi dengan baik pasti akan mengintepretasinya sebagai mesin kopi itu rusak, bisa lewat pintu masuk ini, dan motor lewat sini.
Akan tetapi, karena komunikasi visual di gambar pertama dan kedua tidak konsisten, alhasil orang yang terliterasi pun bisa terkena getahnya. Sementara itu, pengendara motor di gambar ketiga bisa saja muak karena sebagian besar tulisan yang ia temui inkonsisten dengan keadaan sebenarnya, seperti kasus pada gambar pertama dan gambar kedua. Alhasil ketimbang pusing, visual rambu yang ada pun tidak ia hiraukan.
Hal ini berbahaya jika dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Orang menjadi skeptis dengan budaya visual tulisan. Tulisan itu menyesatkan. Bayangkan setiap hari kamu bisa memakai lift padahal ada tulisan lift sedang rusak di pintunya. Lalu karena terbiasa melanggar, suatu hari lift itu benar-benar rusak. Entah apa yang akan terjadi pada dirimu.
Atau ketika kamu terbiasa memakai jembatan dengan tulisan rusak lalu suatu hari jembatan tersebut benar-benar rusak, serta ribuan skenario lainnya yang bisa membahayakan nyawa seseorang.
Pada akhirnya, solusi paling logis adalah dengan bertanya secara lisan. Ini adalah cara paling cepat dan paling aman. Saya tidak akan bilang bertanya adalah hal yang buruk, lagipula kita semua tahu malu bertanya sesat di jalan. Akan tetapi, kita harus ingat kalau bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat terlambat menemukan tulisan.
Bayangkan, bangsa Sumeria sudah memiliki teknologi bernama tulisan semenjak 2.600 tahun sebelum masehi. Sementara itu, di nusantara, tulisan tertua yang ditemukan adalah prasasti Yupa di Kalimantan Timur yang ditulis pada abad ke-5 Masehi. Artinya apa? Nenek moyang kita terlena dengan bahasa lisan sehingga lebih banyak meninggalkan kita cerita rakyat yang dituturkan turun temurun ketimbang literatur fisik yang bisa dibaca oleh keturunannya.
Komunikasi lisan memiliki banyak kelemahan. Mereka mudah terlupakan dan dilupakan. Itulah sebabnya kita mencatat apabila guru kita menjelaskan. Mereka sangat mudah sekali menipu. Itulah kenapa kita tidak percaya dengan janji politikus sampai mereka benar-benar menuangkan suatu kebijakan dalam aturan tertulis. Mereka juga sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi penuturnya. Itulah kenapa ketika marah seringkali kita mengucapkan kata-kata yang kita tahu tidak akan pernah kita lakukan.