Petaka banjir melanda Ibu kota negara dan sekitarnya pada awal tahun 2020. Air meluap memenuhi jalan, memasuki rumah rumah penduduk dan menghanyutkan harta benda dan hewan peliharaan. Banjir meminta tebusan nyawa 67 orang di wilayah Jabodetabek, mengharuskan 139 ribu orang mengungsi, dengan ketinggian air maksimal 6 meter, 39 ribu keluarga untuk sementara harus berpindah rumah. Konsekuensi kerugian ditaksir mencapai 10 triliun rupiah (Koran Tempo: Januari 2020).
Statistik kerugian akibat banjir memunculkan beberapa pertanyaan kunci. Bagaimana sistem migasi dan adaptasi bencana di Ibukota Negara? Bagaimana mungkin pusat negara yang harusnya menjadi barometer penanganan bencana alam, malah kewalahan menghadapi serbuan air bah sejak jaman kompeni hingga sekarang? Apa penyebab utama bencana banjir dan dampak apa saja yang ditimbulkan?
Pertama, sistem mitigasi dan adaptasi bencana adalah pedoman dalam menyusun tata ruang wilayah pemukiman dan peruntukan lahan fungsional dalam sebuah wilayah.
Pesatnya perkembangan industri tidak berbanding lurus dengan progresifitas kebijakan yang mewujud dalam payung hukum untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan ekologis.
Sistem mitigasi bencana sebagai tindakan preventif ketika berhadapan dengan musibah alam terbentur dengan rumitnya birokrasi semisal mandeknya pembebasan tanah dalam normalisasi sungai Ciliwung dan macetnya pompa air di pintu pintu air ketika air meluap.
Sementara, sistem adaptasi bencana yang harusnya dimulai dengan kesadaran ekologis dalam hal paling kecil semisal tidak membuang sampah sembarang atau mengurangi penggunaan sampah plastik dalam hidup harian belum menjadi habitus warga Jabodetabek yang mencapai 36 juta jiwa ini.
Lagi, laju perkembangan pengetahuan migitasi dan adaptasi bencana yang diproduksi oleh lembaga rujukan negara; berbasis riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tidak menjadi pedoman dalam penyusunan kebijakan.
Sementara instansi teknis seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana kewalahan memancarluaskan apa saja tindakan penyelamatan yang semestinya dilakukan ketika warga mendapat peringatan bencana: Siaga I, II dan III.
Kedua, penyebab ketidakmampuan menangani bencana 'banjir tahunan' karena konflik ekonomi-politik di antara para penguasa. Konflik kepentingan utamanya; pemangku kebijakan tidak mampu menindak tegas bahkan turut bekerjasama dalam pengalihfungsian hutan lindung dan hutan peresapan pada hulu sungai di wilayah Puncak Bogor yang kini menjadi hutan hutan perumahan.
Faktanya, lebih mudah menggusur perumahan kumuh di wilayah bantaran kali dengan alasan tata kota daripada memerintahkan pembongkaran perumahan elit yang jelas membangun pada wilayah peruntukan yang salah.
Pemerintah Kota Jabodetabek bukan tidak mampu menghadapi, mencari jalan keluar untuk menyelesaikan hantu banjir tahunan. Dari bencana yang hampir setengah umur kota-kota ini, telah menghasilkan pengetahuan bawaan dan pengetahuan ilmiah yang terangkum entah secara baku mau pun dalam pemahaman warga kota dalam menghadapi banjir tahunan.
Sebagaimana naluriah alami manusia yakni bertahan hidup berbekal ketrampilan dan kemampuan, kristalisasi atas berbagai pengetahuan ini hingga mewujud dalam praksis adaptatif dan mitigatif dalam bentuk kebijakan pencegahan dan penanganan banjir yang selaras zaman.
Ketiga, penyebab utama bencana banjir adalah manusia itu sendiri. Aktus destruktif pada hutan, tanah dan air dalam wajah industrialisasi tanpa memperhatikan harmoni dengan kosmos berdampak pada ketidakseimbangan alam hingga melahirkan anomali cuaca. Konsekuensi logis dari perubahan cuaca adalah bencana bencana alam.
Sisi lain wajah manusia kota adalah, akumulasi natural resource secara eksploitatif dengan tujuan kapitalisasi modalnya meski bertentangan dengan hukum positif dan hukum alam.
Padahal, kita tahu sendiri bahwasanya di negara dunia ke tiga, keterbatasan natural resource merupakan akar dari konflik yang sesewaktu akan pecah.
petaka awal tahun ini, belum berakhir. bulan kedua di tahun ini, ibukota kembali dilanda banjir. Apa yang harus dilakukan? Banjir adalah momok bagi ibukota negara setiap musim penghujan. rencana strategis untuk meminimalisir potensi bencana, harus dimulai sekarang juga!
Akhirnya, bencana hebat ini menumbuhkan solidaritas lintas kelas terhadap korban terdampak banjir. Tanpa peduli bendera organisasi, afiliasi politik atau pun agama, suku dan ras, melebur dalam satu rasa yang sama; kepedulian antar manusia dengan manusia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H