Setiap saat, di sini-di tanah asing ini aku hanya mampu memuaskan dahaga rindu dengan memeluk kenangan tentang renyahnya tawa saat makan malam bersama keluarga, aku mau mendekap hangatnya kebersamaan di tengah keluarga tapi kini aku hanya bisa mengemas cita dengan tangan yang tak pernah berhenti bergerak dan kaki yang tak pernah lelah berlangkah.
Sepuluh tahun sudah, aku menganyam mimpi di negeri Jiran. Entah bagaimana riuh-ramainya negeriku dengan semarak pembangunan? Kampung halamanku, sepeninggalanku enam tahun yang lalu masih belum terjamah oleh rakusnya kapital. Sepengetahuanku; melalui media sosial. Di sana. Di negeriku kini kian sibuk dengan geliat pembangunan. Mata para investor terbelalak oleh makmurnya negeriku, tenggorokan mereka gesit naik-turun menatap sabana luas membentang yang segera siap diaduk-aduk setelah izin dikantongi. Dengan rakus mereka melahap semua sumber daya di negeriku. Pejabat daerah pun dengan lobanya menjilat buih dari hasil tambang. Itulah sepenggal kisah tentang negeriku sayang-negeriku malang yang aku ikuti dari media sosial.
Janganlah heran, walau aku seorang tenaga kerja tetapi aku tak lupa untuk peduli dengan negeriku. Aku selalu mengikuti perkembangan terbaru. Bermodalkan ijazah tamatan SMA, sepenggal pengetahuan tentang bahasa asing yang campur sari dan secuil ketrampilan untuk berladang, aku memberanikan diri mengadu cita di tanah seberang. Mungkin, cinta akan keluargaku nantinya akan menguburkanku di sini. Sebab, kedatanganku ke sini melalui jalur ilegal. Tapi, aku tak peduli. Harga barang terlalu tinggi untuk dijangkau, sementara kebutuhan minum-makan keluargaku, keinginan ke tiga adik-adikku untuk menggenggam cita dengan bersekolah tinggi tak sanggup dipenuhi oleh orangtuaku yang pekerjaannya petani. Sebagai anak pertama, aku punya tanggungjawab moral untuk menurunkan bahagia  dari surga ke bumi bagi keluargaku.
Ketika ada tawaran dari pamanku untuk bekerja di negeri Jiran; dengan semangat penuh bakti, aku menawarkan diri. Kata omku dengan dialek Kupang-nya yang khas "u tau jalan sa, soal manyangkut surat-surat dan lain-lain, om yang ator". Ketika itu aku sangat bahagia mendengar kalimat ini. Seolah-olah dahaga baktiku pun terpuaskan. Kepalaku jadi penuh dengan ide tuk mencipta bahagia bagi keluargaku. Seminggu kemudian, aku berangkat dari kampung halamanku yang terletak di kaki gunung Mutis: gunung tertinggi di pulau Timor.
Bonleu. Itulah nama kampung halamanku. Bonleu merupakan salah satu Desa di kecamatan Mollo Utara. Seharusnya, Bonleu masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Miomafo Barat. Sebab, secara geografis lebih mudah diakses melalui Eban, ibukota kecamatan Miomafo Barat. Jaraknya dari Eban kurang lebih 10 kilometer. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaanku hingga saat ini, mengapa Bonleu masuk dalam wilayah kecamatan Mollo Utara? Padahal jarak tempuhnya 50 kilometer dari ibu kota kecamatan. Terpencil. Terpinggirkan. Tetapi, subur. Berlimpah hasil komoditi. Itulah diksi yang tepat untuk membahasakan kondradiksi di kampung halamanku. Kesuburan bersahabatkan kemiskinan. Naif bukan. Ironis lagi. Di tengah kelimpahan hasil bumi, anak-anak tak dapat menggapai pendidikan tinggi. Salah satu di antara anak-anak itu adalah aku yang akhirnya karena keterbatasan ekonomi, memilih untuk bekerja di negeri Jiran.
Di sini-di tanah ini. Enam tahun sudah aku merangkai cinta menjadi cipta, merajut cipta tuk menjemput cita. Setiap penghasilan bulananku, sebagiannya kukirimkan pada orangtuaku melalui keluargaku yang ada di Eban; ibukota kecamatan Miomafo Barat. Ayah atau ibuku akan mengambilnya, saat hari pasar mingguan-saat mereka datang menjajahkan hasil bumi dari kampungku. Sebagian lagi, aku sisihkan untuk mencicil utangku pada agen pemberangkatan TKI, untuk kebutuhan harian dan demi nyatanya citaku di masa yang akan datang. Tak lupa, uang hasil keringatku, sesekali aku pakai untuk mengusir kegalauan-kerinduanku pada kampung halamanku dengan menghabiskannya di lapak tuak atau pada para penjajah tubuh.Â
Tiga tahun belakangan ini, saat malam datang bertamu, Aku selalu berpikir untuk menemukan cara bagaimana melempar jauh dari akal, rindu pada kampung halamanku. Sejauh ini, kedua cara tadi ternyata belum ampuh untuk mengusir rinduku. Karena itu, untuk mendinginkan didihnya rinduku, aku mengikuti perkembangan terbaru di negeriku dengan mengakses media sosial. Aku terlampau rindu pada kampung halamanku-pada negeriku, hingga terkadang untuk menepis rindu yang kian membuncah aku mengajak teman-teman seperjuangan dari kampung halamanku, untuk berbicara dalam bahasa Dawan.
Aku selalu berusaha memuaskan dahaga rindu pada kampung halamanku. Setiap kali, ada teman sesama pekerja yang seasal denganku baik yang baru masuk atau yang baru kembali dari liburan, aku akan setia mendengarkan cerita mereka. Entah sampai berapa lama pun aku akan selalu bersedia mendengarkan ceritanya. Bahkan, saking kangennya; aku akan memaksa mereka untuk menceritakan kisah liburannya dan terutama kondisi di negeriku. Dan yang tak luput dari perjuanganku mengalahkan kerinduan yang terus memojokanku, aku akan meminta mereka untuk membawakan oleh-oleh khas dari kampung halamanku. Puah, manus nok aoh dan lemun cina menjadi pesan wajib yang aku titipkan pada mereka sebelum pulang liburan. Bawaan itu sebagai penyejuk kala rindu kian membara.
Rindu itu seperti dendam yang harus dituntaskan, kalau tidak rindu itu akan membunuhmu perlahan-lahan kata seorang sastrawan di negeriku; yang aku baca saat berselancar di internet dengan handphone Nokia milikku. Rindu ini selalu membuntuti kemana pun aku pergi-apa pun aktivitasku. Saat mandi rindu itu hadir dalam kenangan ketika aku bercengkrama dengan kuda yang aku mandikan di sebuah sungai yang menyusuri kampungku; Bonleu, maka aku akan mendendangkan syair eh kuan Soe ciptaan seorang musisi dari daerahku. Saat hendak beranjak tidur, kenangan saat menenun mimpi di ume bubu datang menyergap, maka aku akan mengenakan beti; sarung tenun khas etnis Dawan yang bermotif tokek itu dipadu dengan tais yang melingkari kepalaku. Dengan cara, ini barulah aku dapat lelap dalam tidur dan bermimpikan kampung halamanku.
Kerinduan telah menjadi sahabatku tiga tahun terakhir ini. Tapi, kepulangan malah menjadi musuh bebuyutanku. Aku belum bisa pulang hingga sekarang ini karena utang pada agen yang memberangkatkanku secara ilegal ini belum terlunasi. Bahkan, untuk liburan pun aku tidak diperbolehkan. Sebab, menurut agen tersebut, aku belum mampu  melunasi biaya untuk keberangkatanku. Jumlah keseluruhannya mencapai 50 juta rupiah. Dimulai dari biaya pengurusan pemalsuan admistrasi di tingkat desa sampai provinsi, biaya pemalsuan pasport, biaya makan-minum selama 3 bulan berada di penampungan dan biaya transportasi dari Bonleu sampai Selangor. Penghasilanku yang cuma 400 ringgit per bulan ini harus terpotong untuk berbagai kebutuhan, sampai terkadang aku harus mengutang untuk memenuhi kebutuhan harianku dan biaya kunjunganku ke lapak tuak dan lokalisasi.Â
Saat ini, aku masih harus terus menghasilkan pundi-pundi sebab kedua adik terakhirku sementara berkuliah di pulau Jawa. Kiriman untuk mereka tak pernah terlewatkan, walau sesekali terlambat. Untuk sementara, bebanku menjadi lebih ringan karena adikku yang tiga tahun lebih muda usianya dariku sudah mengajar di Sekolah Menengah Atas di kampung halamanku. Walau penghasilannya belum seberapa, tetapi syukurlah keringat yang adalah minumanku dan terik mentari yang adalah makananku sudah berhasil mewujudkan mimpi dari salah satu adiku.
Di sini, aku bekerja di perkebunan kelapa sawit. Letaknya di negara bagian Timur Malaysia; Selangor namanya. Pagi-pagi sekali, aku sudah harus bangun, menyiapkan diri lalu segera menanti jemputan dari kendaraan pemilik perkebunan yang berkeliling dari tenda ke tenda untuk mengangkut para pekerja ke perkebunannya. Aku bekerja seharian penuh di perkebunan sawit dengan bermandi peluh; menantang matahari sampai menjemput petang. Setiap saat, aku harus berjaga-jaga jikalau Mandor mengisyaratkan bahwa ada operasi pemeriksaan tenaga kerja ilegal dari kepolisian Malaysia, maka aku harus melarikan diri dan bersembunyi di hutan-hutan terdekat, kalau tidak mau tertangkap. Bila tertangkap, sudah pasti akan dirajam atau di deportasi. Aku tidak mau tertangkap. Jika sampai tertangkap; maka hacurlah semua angan dan mimpiku. Bila  sampai kedapatan; sirnalah sudah harapan adik-adikku untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Satu tahun lagi, utangku pada agen pemberangkatan akan terlunasi. Tetapi, aku sudah tidak sabar untuk segera pulang. Apalagi, aku baru saja mendengar berita bahwa Ayahku meninggal karena serangan jantung saat hendak membawa sapi ke sungai untuk meminum air. Aku terperangah. Dunia sekitarku seakan-akan penuh isak tangis dan kertak gigi. Bahagia begitu cepat bertandang ke keluargaku, belum sempat ia melanggengkan situasi sukacita itu, tiba-tiba kesedihan menghardiknya pergi dengan kematian ayahku. Mengapa kehidupan begitu keras menyiksa? Pikiranku langsung terbang menuju Bonleu. Di sana-di kampungku sangat minim tenaga kesehatan. Memang ada bangunan puskesma, tetapi dokter dan perawat hanya berkunjung tiga bulan sekali, akibatnya ayahku tak sempat mendapat perawatan. Bagaimana dengan ibu yang telah ditinggal ayah? Adik keduaku sudah bersuami. Tentunya, ia tinggal dengan suaminya. Kedua adik yang terakhir sementara berkuliah, ibu pasti merana kesendirian. Aku putuskan untuk segera pulang. Untuk membagi setetes pengharapan bagi ibuku dengan kehadiranku pada prosesi pemakaman ayah sekaligus untuk melenyapkan dahaga kerinduanku. Tetapi, lagi-lagi kehidupan memenjarakanku dalam kesialan. Aku tertangkap oleh petugas imigrasi Malaysia di Sarawak, ketika hendak kembali pulang ke Indonesia melalui jalur darat. Kini, aku mendekam di penjara Malaysia, menanti hukuman yang akan menderaku sambil meringis kesyahduan akan kerinduan yang belum tergenapi dan kehilangan yang ketat membelenggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H