Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

20 Januari 2019   09:20 Diperbarui: 20 Januari 2019   09:29 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit Photo: Etji Doek-Malam Refleksi Forum Peduli Kemanusiaan NTT

Di sini, aku bekerja di perkebunan kelapa sawit. Letaknya di negara bagian Timur Malaysia; Selangor namanya. Pagi-pagi sekali, aku sudah harus bangun, menyiapkan diri lalu segera menanti jemputan dari kendaraan pemilik perkebunan yang berkeliling dari tenda ke tenda untuk mengangkut para pekerja ke perkebunannya. Aku bekerja seharian penuh di perkebunan sawit dengan bermandi peluh; menantang matahari sampai menjemput petang. Setiap saat, aku harus berjaga-jaga jikalau Mandor mengisyaratkan bahwa ada operasi pemeriksaan tenaga kerja ilegal dari kepolisian Malaysia, maka aku harus melarikan diri dan bersembunyi di hutan-hutan terdekat, kalau tidak mau tertangkap. Bila tertangkap, sudah pasti akan dirajam atau di deportasi. Aku tidak mau tertangkap. Jika sampai tertangkap; maka hacurlah semua angan dan mimpiku. Bila  sampai kedapatan; sirnalah sudah harapan adik-adikku untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Satu tahun lagi, utangku pada agen pemberangkatan akan terlunasi. Tetapi, aku sudah tidak sabar untuk segera pulang. Apalagi, aku baru saja mendengar berita bahwa Ayahku meninggal karena serangan jantung saat hendak membawa sapi ke sungai untuk meminum air. Aku terperangah. Dunia sekitarku seakan-akan penuh isak tangis dan kertak gigi. Bahagia begitu cepat bertandang ke keluargaku, belum sempat ia melanggengkan situasi sukacita itu, tiba-tiba kesedihan menghardiknya pergi dengan kematian ayahku. Mengapa kehidupan begitu keras menyiksa? Pikiranku langsung terbang menuju Bonleu. Di sana-di kampungku sangat minim tenaga kesehatan. Memang ada bangunan puskesma, tetapi dokter dan perawat hanya berkunjung tiga bulan sekali, akibatnya ayahku tak sempat mendapat perawatan. Bagaimana dengan ibu yang telah ditinggal ayah? Adik keduaku sudah bersuami. Tentunya, ia tinggal dengan suaminya. Kedua adik yang terakhir sementara berkuliah, ibu pasti merana kesendirian. Aku putuskan untuk segera pulang. Untuk membagi setetes pengharapan bagi ibuku dengan kehadiranku pada prosesi pemakaman ayah sekaligus untuk melenyapkan dahaga kerinduanku. Tetapi, lagi-lagi kehidupan memenjarakanku dalam kesialan. Aku tertangkap oleh petugas imigrasi Malaysia di Sarawak, ketika hendak kembali pulang ke Indonesia melalui jalur darat. Kini, aku mendekam di penjara Malaysia, menanti hukuman yang akan menderaku sambil meringis kesyahduan akan kerinduan yang belum tergenapi dan kehilangan yang ketat membelenggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun