Â
Bahkan aku tak sempat mengukir namamu dalam catatan kaki hidupku.Â
Sebab, terlampau pelik mengunyah jalan penderitaanmu dalam nalarku.
Saat kedatanganmu setelah sekian lama membanting tulang di negeri tetangga adalahÂ
berita buruk bagi yang menunggumu penuh harap.Â
Isi sakumu yang tak sempat kau berikan pada mereka yang pantas menerimanya,Â
jadi kuk yang harus kau pikul di pundakmu.
Semuanya dikeruk habis oleh mereka yang mengenalmu, Â
hanya dengan berbekal secarik foto di layar Handphone.
Engkau hanya berupa cerita yang tak sempat terkabarkan,Â
dalam rangkaian kisah yang ingin kututurkan pada telinga yang tak mendengar.Â
Bagi mulut yang pengecut mendaraskan kebenaran tentangmu.
Aku tak kuasa menyingsingkan lengan untuk mendekapmu dalam kubah perlindungan
Pemangsa yang rakus akan buah kehidupan yang kau petik,Â
dengan buas melahap habis pundi-pundimu,Â
ingatanmu bahkan diluberi dengan kepedihan dan air mataÂ
hingga untuk menuturkan kisah pedihmu engkau harus lagi belajar mengeja kata per kata.
Matani, 2014-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H