Dalam kasus dan locus yang lebih khusus di NTT 'format baku'  dalam perhelatan PILGUB (Pemilihan Gubernur) adalah menyandingkan dua entitas identitas mayoritas di provinsi ini: protestan-katolik plus timor flores atau kebalikannya.
Format klasik ini membuktikan bahwa para elit politik kita miskin kreatifitas dan tak punya kehendak baik untuk membangun Nusa Tenggara Timur.
Konsekuensinya, jualan politik politisi adalah isu primordial berbasis pada suku dan agama. Tidak heran kita selalu tenggelam dalam berbagai kemelut persoalan tanpa ada jalan keluar karena para politisi minus imajinasi.
Apalagi, hampir mustahil kita temukan calon pemimpin yang mampu berimajinasi tinggi dan berdiri teguh tanpa harus menjilat pada kepentingan pemodal karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya pemilu selalu berbiaya tinggi hingga membutuhkan sokongan modal. Alhasil, dalam masa kepemimpinan selalu melayani kepentingan para pemodal dan senantiasa tunduk pada sistem pemilihan yang menjadikan identitas sebagai jualan politis.
Bila ada calon politisi yang berani berpikir dan maju di luar 'format baku' yakni melampaui sentimen suku dan agama, maka dengan segera dihadang sistem buatan yang mempersulit pencalonan dan sekian usaha agar calon berintegritas dan berorientasi kemaslahatan bersama dapat terdepak dari bursa pencalonan.
Fobia politik pada calon berjiwa kepemimpinan menjadi bukti bahwa pelangengan status quo segelintir kalangan adalah tujuan dari perhelatan dalam dunia politik di Nusa Tenggara Timur.
Bagaimana mungkin NTT dapat maju dan berkembang bila politisinya miskin imajinasi serta tanpa kemampuan untuk berpikir dan berpolitik di luar kerangkeng politisasi identitas?
Tidak heran masyarakat NTT selalu menjadi 'orang-orang kalah' dalam kompetisi kemajuan pembangunan di skala nasional, apalagi skala internasional. Sekalipun banyak tokoh-tokoh berkaliber nasional maupun internasional lahir dari rahim bumi FLOBAMORATA, tetapi selama model politisasi identitas masih menjadi acuan, maka jangan berharap kesejahteraan untuk dan bagi semua masyarakat di Nusa Tenggara Timur dapat tercipta.
Menenun Harapan Pembebasan
Seharusnya kita berpikir dan berpolitik di luar 'model baku' yang murahan seperti sudah dipraktekan sepanjang dua kali masa pemilihan langsung gubernur. Tanah ini tidak miskin persona-persona yang kaya kreatifitas dan punya kehendak kuat untuk memberi secercah asa bagi masyarakatnya. Konstituen pun harus awas dan jeli mengamati masa pencalonan sekarang ini-kehadiran wajah-wajah baru yang tiba-tiba muncul ke permukaan menampilkan keberpihakan semunya-wajah-wajah lama yang hampir pasti tidak mempunyai orientasi kebaruan, apalagi mengharap keberpihakannya, Â pada hal selama tanah ini dirundung malang dan derita akibat; keseringan mendapatkan kiriman peti-peti mayat para pekerja dari negeri jiran, atau pembangunan mega infrastruktur yang salah sasaran, angka kematian ibu dan anak yang kian meninggi dan pendidikan berkualitas rendah-jangankan menampakan wajahnya, untuk menyuarakan penolakan pun tidak pernah terdengar sama sekali.
Mencapai model perpolitikan ideal adalah pekerjaan rumah yang harus digenapi oleh segenap penduduk di tanah ini. Kita tidak mesti tenggelam dalam 'format baku' yang sudah dipatenkan oleh segelintir elit di provinsi ini. Melawan konsepsi umum yang sesat nalar tentu tidak mudah. Namun, apakah kita akan terus diam dan menjadi penonton setia yang hanya sebatas berkoar di media sosial?