Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Agama dalam Mencapai Keteraturan Hidup Manusia

4 Agustus 2020   16:54 Diperbarui: 4 Agustus 2020   16:54 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas dipikiran Anda ketika mendengar kata "Agama"?

Politik Identitas? Mayoritas dan Minoritas? Penindasan? Perang? Prasangka? Diskriminasi Kelompok? Kolot?

Wah, kalau Anda sering melihat berita terutama berita buruknya, pasti hal tersebut memang sering terbesit dikepala Anda. Terlebih lagi, Saat membahas isu-isu agama, kalau tidak hati-hati -- apalagi jika belum punya bekal yang cukup -- bisa-bisa diserang dan jadi amukan massa.

Terlepas dari pandangan umum, kalau membahas agama itu sesuatu yang tabu dan sensitif, apalagi orang yang membahas itu sok tahu. Maka saya ingin coba menjadi seperti itu.

Maksudnya? Ya, saya mencoba untuk menjadi orang yang sok tahu. Tentunya dengan meraba garis atau batas "aman" agar saya bisa menyampaikan dan menjelaskan ini dengan "baik" (Tidak membuat orang tersinggung).

Istilahnya sok tahu, tapi masih tahu diri. Haha, self-disclaimer dulu, biar gak kaget kalau di komentarin "dasar sok pinter!"

Kali ini saya membahas tentang pentingnya agama untuk keteraturan hidup manusia. Saya tidak akan mengutip ayat-ayat ataupun petuah-petuah agama disini. Kenapa? Lah wong saya bukan ahli agama.

Saya ingin membahas tentang dampak positif dari keberadaan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya agama dalam diri individu untuk mendapatkan tujuan dan motivasi hidup yang kuat.

Seseorang harus memiliki tujuan hidup. Jika tidak, hal ini bisa berdampak buruk. Manusia bisa lalai dari tanggung jawabnya. Tanggung jawab untuk menjalani "hidup dengan baik".

Hidup harus memiliki hal-hal yang dicapai. Cita-cita, keinginan atau apapun itu, setidaknya agar hidup individu memiliki "keteraturan". Jika pilar "keteraturan" tidak dimiliki oleh manusia, manusia bisa saja hampa, hidup mengalir saja dan apa adanya tanpa tujuan.

Menurut Sigmund Freud, dalam buku Civilization and Its Discontents, topik-topik dari tujuan hidup manusia seringkali diangkat dan didiskusikan. Namun jawabannya selalu tidak memuaskan, bahkan beliau menilai jika hidup bisa saja tidak memiliki tujuan.

Dengan adanya tujuan, kehidupan manusia akan bermakna. Misalnya, orang-orang akan bekerja sebaik mungkin agar mendapatkan karir yang bagus. Mempunyai banyak uang agar bisa menikah dan memiliki rumah. Mencapai cita-cita yang diidamkan dan menjalani hobi sesuai dengan passionnya.

Namun bagaimana jika tujuan atau hal yang diinginkan tersebut gagal dan tidak bisa tercapai? Orang bisa saja menyerah, putus asa, dan kehilangan tujuan hidup. Hidupnya bisa saja kacau dan hancur.

Jika ia hanya mengharapkan hal-hal duniawi saja, hidup tidak mempunyai tujuan yang kuat dari sekedar keinginan untuk mencapai suatu "keadaan yang menyenangkan". Dan "keadaan yang menyenangkan" ini hanya bersifat sementara.

Kehadiran agama memberikan tujuan-tujuan yang lebih mendalam pada kehidupan manusia. "Akhirat" menjadi tujuan yang kuat, keberadaan "surga" dan "neraka" mengatur pola perilaku manusia.

Manusia akan berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mencapai tujuan tersebut. meningkatkan kapasitas individu untuk bisa berdampak bagi orang banyak. Tidak hanya untuk mencapai tujuan duniawi,  tetapi tujuan "akhirat" menjadi landasan final manusia.

Meski beberapa "oknum orang beragama"  tidak menerima sudut pandang berbeda, terlalu kaku, berlebihan dalam menasehati -- Iya, banyak oknum yang lebih mengedepankan nasihat daripada memahami permasalahan manusia -- memberikan perspektif negatif terhadap agama itu sendiri. Banyak orang menganggap orang yang beragama terlalu overdosis, kecanduan, radikal dan semacamnya.

Namun hal ini tidak mengubah fakta kalau agama memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia harus memiliki tujuan. Dan tujuan hidup manusia ketika "hidup di bumi ini" bermacam-macam. Dan benar menurut Freud, sangking banyaknya perbedaan, banyak yang tidak puas dengan jawaban itu.

Hidup itu harus kaya? Jangan Stres, Biar Bahagia Terus? Bekerja Keras? Dan lain semacamnya, banyak variasinya.

Ketika tujuan hidup manusia hanya bersifat duniawi lalu ketika tujuan itu hancur, harapan mereka untuk hidup akan hilang. Apalagi mereka yang mengejar kebahagiaan dan kesenangan sementara. Kebanyakan orang juga mengiyakan jika tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.

Menurut ajaran-ajaran agama, hidup ini adalah ujian -- bukan berarti kita tidak boleh bahagia, atau orang yang sudah mendapat kesenangan dan kebahagiaan adalah suatu kesalahan dalam hidup, hal itu patut disyukuri -- selain itu  kebahagiaan, muncul dari ekspetasi yang diharapkan. Jika ini tidak terpenuhi maka hidup bisa jadi menderita.

Menurut Jordan Peterson hidup adalah penderitaan dan itu yang selalu diucapkan oleh kaum religius. Manusia harus mengurangi penderitaan untuk mendapatkan kebahagiaan, alih-alih mengejar kebahagiaan yang akan berujung pada penderitaan.

Dengan begini keberadaan agama datang sebagai intisari kehidupan. Agama menjadi pondasi bagi moral serta tujuan hidup manusia. Bahkan bagi Sigmund Freud yang memiliki keraguan tentang keberadaan agama tidak mengelak bahwa jawaban-jawaban dari tujuan hidup manusia itu bangkit melalui sistem keagamaan.

Agama menjadi tempat bagi orang-orang yang tidak kuat menahan sulitnya kehidupan. Meski hanya menjadi tempat pelarian dari realita semata bagi beberapa orang, bagi beberapa yang lain agama adalah tempat yang meneduhkan jiwa, memberikan keteraturan dan menguatkan tujuan hidup, menilai hidup adalah ujian untuk mencapai kebaikan-kebaikan, agar mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Referensi

Freud, Sigmund.  Civilization and Its Discontents. 2020. Yogyakarta : Immortal Publishing

Freud, Sigmund. Masa Depan Sebuah Ilusi. 2018. Yogyakarta : Penerbit Circa

(1)

Kritik dan Saran Terbuka untuk Tulisan Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun