Entah kenapa tulisan dari bung A. Pangerans yang berjudul "Artikel Ini Kira-kira Ada yang Baca Tidak Ya?" membuat saya tergelitik. Enggak sih, lebih tepatnya menusuk (Akhhh). Tapi dalam artian membuat saya lebih sadar, bahwa ada masalah yang membuat beberapa penulis di Kompasiana ini merasa kurang nyaman untuk menjalani hobinya disini.
Kenapa Artikel saya nggak jadi Artikel Utama? Kenapa gak masuk kolom Pilihan? Kenapa views saya sedikit?
Hal-hal diatas yang membuat teman-teman gelisah untuk tetap konsisten menulis di Kompasiana. Padahal menurut saya, Kompasiana adalah salah satu tempat yang nyaman untuk menuangkan pikiran dan perasaan. Karena apa? Karena tulisan langsung bisa TAYANG, tanpa ada kurasi editor macam media atau platform lain.
Misal seperti di idntimes, judul dan isi gak menarik, gagal lolos dan tampil. Kalau di Terminal Mojok, up to date dan informatif saja tidak cukup untuk masuk disitu. Seenggaknya ada bumbu unik, baru, sedikit nakal berbau satir dan sarkasme, agar bisa masuk dan tayang artikelnya di terminal Mojok. Tapi masih aja teman-teman dari Mojok yang tulisannya gagal lolos juga. Hmm syediih.
Sebenarnya bung Ruang Berbagi sudah berbagi tips dan trik agar artikel yang kita tulis bisa masuk jadi Artikel Utama (Thank u, klik di sini). Lalu di "Ketentuan Konten" Kompasiana juga sudah dijelaskan (klik di sini).
Akan tetapi kekhawatiran besar mungkin terletak pada "angka" atau pageviews. Saya jadi mau curhat, kenapa saya tidak meneruskan tulisan dan keresahan saya di blog pribadi.
Karena yang lihat bukan sedikit, tapi 0. Nol loh hee, gak ada yang lihat. Padahal saya sudah share ke Status Whatsapp, Instagram, saya juga cantumkan di Bio. Tapi tetap saja tidak ada yang datang. Entah apa saya yang kurang menarik atau bagaimana sampai tidak ada yang perhatian.
Percuma jadinya kalau nulis di blog pribadi. Serasa bikin echo chamber sendiri yang isinya cuma pendapatku doang, kan lucu. Akhirnya saya mencoba untuk nulis di Kompasiana. Dan nggak nyangka aja, tulisan pertama saya tentang "Represi dalam Kesabaran" dilihat 200 lebih pada saat itu.
Saya langsung takjub karena sebelumnya ya gitu, tulisanku gak ada yang baca, huft. Ya meskipun kurang di respon sama pembaca dan kompasianer lain. Mungkin karena saat itu saya masih baru ya, centang hijau saja belum muncul.
Saya pun bikin tulisan tentang Reynhard Sinaga, yang mampir banyak sih, 200 an. Tapi tidak masuk highlight oleh editor Kompasiana. Langsung saya pun berpikir kritis.
"Ini tulisan semua memang pendapatku sih, jadi kurang aktual. Harusnya ada pendapat ahli atau narasumbernya."
"Terkesan sok tahu, tulisanku belum bisa di konfirmasi kebenarannya. Data saja gak ada."
"Kurang menarik dan unik? Beda selera mungkin sama editor?"
"Judul sama tulisan kurang sinkron dan kurang terfokus, terus isinya tidak komprehensif."
Akhirnya dari situ saya mulai cari informasi tentang gimana caranya masuk Artikel Pilihan, terus Artikel Utama, K-Rewards dan lain sebagainya. Dan terus saja saya menulis, kalau otak lagi dapet insight dan lagi ada mood sih. Syukurlah kalau masuk kategori pilihan, apalagi artikel utama.
Karena aku gak bisa maksa nulis harus nunggu mood (moody yah, hehe), Apalagi nulis politik. Aduh, tolong saya tidak sanggup. Lihat keadaan politik Indonesia saja sudah bikin pusing kepala. Apalagi menyikapinya lewat tulisan. Kecuali pejabat lagi ngelawak, hahaha.
Kembali lagi ke persoalan pageviews. Saya pernah menulis Artikel tentang isu yang lagi viral di medsos. Tentang Doktor Psikologi, Dedy Susanto yang dilaporkan ke Polisi. Viewsnya cuma puluhan. Dan saya terheran, apalagi di Kompasiana belum ada yang nulis. Meskipun masuk dalam pilihan editor tapi viewsnya sedikit, ada sedikit perasaan tidak terima saat itu.
Rasanya seperti percuma dan tidak ada gunanya. Sudah nulis lama, tapi viewsnya sedikit, hmmm. Tapi entah kenapa ada sebagian diri saya yang ternyata dibutakan oleh label dan views.
"Yesss dapat Pilihan!!"
"Mantapss, Artikel Utama!"
"Views nya udah berapa nih sekarang !?"
Padahal saya masih belajar nulis, tapi saya gak mau munafik, kalau sesekali saya takabur dan sombong dengan apa yang sudah saya dapatkan. Akibatnya saya khawatir, galau dan gelisah kalau saya tidak mendapatkan apa yang sudah saya ekpetasikan. Apalagi hanya dengan label dan views semata. Maafkeunn hamba~
Harusnya saya belajar untuk lebih konsisten dalam menulis. Terlepas dari reward yang diberikan oleh pihak Kompasiana dan respon pembaca. Belajar mengevaluasi tulisan, paragraf dan gaya bahasa yang sesuai dengan gaya menulis saya agar menarik para pembaca di Kompasiana.
Lebih baik fokus untuk meningkatkan kualitas tulisan daripada mengejar hasil tanpa menikmati proses. Apapun itu saya masih belajar di sini dan akan terus belajar.
Terimakasih Kompasiana sudah menjadi wadah menuangkan pemikiran dan keresahan, yang menurut saya lebih nyaman daripada media dan platform lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H