Dengan wajah yang sumringah dan mengejek Park Sae Royi. Bener-bener gak punya hati. Bisa-bisanya bohong tentang sesuatu yang "tabu". Bohong kok pakai tentang "ayah" yang meninggal, gilak.
Tidak menunjukkan empati, benar-benar. Terutama ketika Yi Seo dimarahi oleh ibunya. Ibunya marah besar ketika Yi Seo lebih memilih bekerja di kedai kecil daripada kuliah di universitas ternama, padahal sebelumnya ia sudah diterima disitu.Â
Ia menanggapi ibunya yang sedang emosional dan menangis dengan santai-santai saja.
Ibunya marah karena sang anak tidak mengikuti perintah dan harapannya. Seharusnya ketika berada dalam situasi itu, orang normal atau pada umumnya pasti berdebat dengan nada tinggi, ikut marah, dan juga menangis untuk mempertahankan pilihannya.
Tapi Yi Seo tidak seperti itu, ia seperti tidak bisa menunjukkan atau bahkan tidak bisa terikat dengan suatu emosi yang diperlihatkan oleh orang lain.Â
Yi Seo menanggapinya dengan santai dan berbicara dengan halus meskipun kata-katanya pasti menyakitkan bagi si Ibu. Ia tidak ingin hidup bergantung pada harapan dan rencana orang lain, terutama ibunya.
Karena ia yakin dengan dirinya sendiri, ia pasti bisa mencapai apa yang dia inginkan dan apapun yang mengganggunya dan menghalangi tujuannya, ia akan hadapi. Dan hal itu bisa terlihat dari sifat kompetitif, kompetensi dan tingkat intelegensinya yang diatas rata-rata.
Monolog yang sering diperlihatkan dari karakter Jo Yi Seo ini merepresentasikan keadaan jiwanya yang sebenarnya penuh kecemasan akan hidup. Apalagi saat episode pertama, ketika Yi Seo berada dalam sesi konseling. Ia mengungkapkan percakapannya dengan Park Sae Royi di konseling tersebut.
"Aku berharap dunia ini berakhir.. Aku merasa hidup itu melelahkan," ujar Yi Seo
"Bila hidup sangat melelahkan, mati saja," jawab Saeroyi