Mohon tunggu...
Ryan Ardiansyah
Ryan Ardiansyah Mohon Tunggu... Penulis - Tak ada kosa kata yang mampu mengambarkan

Barangkali kopi kita kurang diaduk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia-Manusia Trotoar

22 Desember 2024   01:44 Diperbarui: 22 Desember 2024   01:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sangka hidup di Jakarta, kita akan menjalani kehidupan yang sangat bajingan. Saban hari kita menjadi makhluk jam 9-21 itupun belum termasuk tambahan lembur. Dari hulu ke hilir kita merambah nasib yang sama demi kesejahteraan dan kesuksesan rela mengantri dalam satu barisan. Setiap rumah yang berada di gang-gang mencerminkan garnisun. Dan ratusan manusia berbaris panjang dalam sejarah kota.

Kala sore itu aku menghela satu tarikan nafas rokok kretekku sambil menggerutu tentang nasib"Untuk apa manusia bekerja?Untuk mencari nasi kah, padahal jika saat kematian manusia memberi makanan kepada sanak-family. Bahkan lebih dari itu kalo berasal dari keluarga kaya terkadang ada amplop".

Hanya saja pertanyaan itu tak menemukan jawaban-jawaban di meja kopiku. Aku sangat kesal sore itu melihat laju kepalaku, yang mengikuti arah motor dari kiri ke kanan dan sialnya itu bola-balik. Mengapa ya tubuh secara tidak sadar bersikap seperti itu terus kali mengulang padahal yang dilihat hanya sebuah lalu lintas kendaraan?

Seorang lelaki tua dengan gitar separuh abad melengkungkan lagu Oh ya karya Iwan Fals.

Oh ya, ya nasib

nasib lu jelas bukan nasibmu

oh ya, ya takdir

takdir ku jelas bukan takdir

Aku terhanyut dalam lirik, hingga memaksa ku ikut bernyanyi. Aku jadi teringat apa yang dikatakan Gie yang mengutip perkataan filsuf "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda".

Penyanyi jalanan berkata kepadaku

"Nak, apa yang kau harapkan dari nasib di Jakarta? Kau lihat saja semua nasib sudah didikte oleh rambu-rambu lalu lintas sepanjang jalan kota".

Pertanyaan ini secara mabuk, menggugat diriku. Lantas dalam satu tegukan kopi aku melempar pertanyaan di dalam doa

"Tuhan dimana kau letakkan nasibku, pada usia berapa, dalam suasana apa, bagaimana mendapatkan nasib itu, butuh berapa lama untuk aku mengantri mendapatkan nasib itu?"

Hujan gerimis tak ada yang spesial saat turun hujan di trotoar, semua orang kocar-kacir. semua pengendara motor bubar barisan. Mencari tempat teduh, tak jarang bagi pengendara motor berjiwa amfibi akan menembus air hujan persoalan basah nomer seribu sisanya tentang tekad untuk sampai tempat tujuan. Satu yang menarik saat hujan turun, penjual jas hujan yang tak di undang dalam genangan air di kota akan selalu datang. Kita tak pernah tau langkah arah jalannya penjualan jas hujan. Semua secara tiba-tiba.

Suasana makin teduh kala hujan di sepanjang sore, tapi mataku tertuju pada ibu penjual jas ujan dengan bivak berasal dari banner bekas. Aku melihat anaknya yang satu berada di gendongan dan yang dua bermain tenda-tendaan. Aku perhatikan mereka riuh gembirang dalam larutan hujan.

Penyanyi jalanan tiba-tiba menepis pengelihatanku sambil menawarkan rokok.

"Nak, rokok" dengan nada basa-basi orang Indonesia

"Iya makasih, Pak. Kebetulan masih ada" tuturku sambil meluarkan rokok di kantong.

"Sudah, jangan kau hiraukan pertanyaanku tadi" sembari menghisap rokok kreteknya

Aku tertawa apa yang barusan dikatakan, sambil perlahan mencoba meletakan rokok di bibir sebagai tanda berhenti tawaku.

Pedagang kopi mengoda kami berdua, agar kopinya tak sia-sia bergelantungan pada sepeda tua.  Satu kodi uang receh keluar dari kantong permen penyanyi jalananuntuk membayar dua gelas kopi, satu gelas untuknya dan satu gelas lagi untukku.

Sambil mengatur tangga nada, ia bertutur kepada ku

"Jangan sungkan untuk meminum kopi ini, nak. anggap saja ini bagian rezeki mu di sore hari ini"

"Terimakasih atas jamuannya, pak"

"Bukankah sudah seharian kau membawa sepucuk amplop coklat, sampai kau lupa merayakan kehidupaan dengan segelas kopi"

"Hahaha, bapak sangat paham betul"

Aku pun dengan rasa penuh kagum dan hormat, menerima dengan kerendahan hati jamuan yang diberikan oleh bapak penyanyi jalanan. Tak ada cemilan istimewa, kita bersenda gurau melalui obrolan. Kadang kala kita bernyanyi. Pada setengah gelas kopi, bapak penyanyi jalanan menatap pikiranku melalui gaya bicaraku padanya.

"Hey, nak. Kau tidak seperti kebanyakan anak muda lainnya" tuturnya sambil memasang wajah keheranan

"Maksud, Bapak?"

"Begini, nak. Kebanyakan hal layak, bisa dikatakan di masa muda. Sudah mapan dengan pekerjan tetap. Lantas apa permasalahan belum mendapatkan pekerjaan?"

"Entahlah, pak. Sudah beberapa iklan-iklan lowongan pekerjaan ku jelajahi, tapi disatu sisi aku juga melihat banyak orang-orang di PHK berkata sulit untuk mencari pekerjaan"

"Hahaha, Nak. Kau seorang terpelajar bagaimana bisa dirimu tak diterima di perusahaan atau paling tidak ikut tes pegawai negeri"

"Nah itu, permasalahannya aku tidak tau. Mungkin letak permasalahannya ada latarbelakangku"

"Coba dikoreksi lagi hidupmu, Nak" Jawabnya sambil memulai mencari tangga nada pada gitar tuanya.

Aku terdiam sesaat dan merenungkan perjalanan hidupku. Kata-katanya yang menghantam ulu hati membuatku mendidih. Belum sempat mengucapkan balasan obrolan tadi. Penyanyi jalan itu mulai menodongku dengan pernyataan.

"Sudah nak, jangan terburu-buru atas mengkoreksi hidupmu. Buat semuanya berada pada jalurnya"

"Paling tidak aku ingin mengetahui atas hidupku selama ini"

"Itu pilihan mu, kau tidak akan mengerti lebih dalam tentang dirimu. Ketimbang alat-alat mesin elektronik, jika semuanya terburu-buru"

Penyanyi jalanan mengaruk gitarnya, asap rokoknya berdansa di atas awan. Suaranya melengking menembus keheningan, semua mata tertuju pada penyanyi jalanan. Lampu temaram ruko menyorotinya bak seperti cahaya pada panggung konser.

Semua orang ikut bernyanyi, mengangkat semua beban di pundak dengan melafazkan lirik-lirik, tidak ada satu pun semua orang asing dengan lirik Kemesraan-Iwan Fals.

Ah, rasanya acapkali bernyanyi bersama orang-orang di jalanan. Suara-suara yang terpendam keluar begitu lantang. Sepertinya bagiku kita hanya bernyanyi di jalanan rangkaian penggugatan.

Di ujung tetes terakhir, kami menutup hidang kopi dengan selarik doa-doa. Aku yang bertengger sambil menahan dingin. Menulis doa ku pada buku catatan ku, begitu juga penyayi jalanan yang menggantungkan doa pada gitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun