"Coba dikoreksi lagi hidupmu, Nak" Jawabnya sambil memulai mencari tangga nada pada gitar tuanya.
Aku terdiam sesaat dan merenungkan perjalanan hidupku. Kata-katanya yang menghantam ulu hati membuatku mendidih. Belum sempat mengucapkan balasan obrolan tadi. Penyanyi jalan itu mulai menodongku dengan pernyataan.
"Sudah nak, jangan terburu-buru atas mengkoreksi hidupmu. Buat semuanya berada pada jalurnya"
"Paling tidak aku ingin mengetahui atas hidupku selama ini"
"Itu pilihan mu, kau tidak akan mengerti lebih dalam tentang dirimu. Ketimbang alat-alat mesin elektronik, jika semuanya terburu-buru"
Penyanyi jalanan mengaruk gitarnya, asap rokoknya berdansa di atas awan. Suaranya melengking menembus keheningan, semua mata tertuju pada penyanyi jalanan. Lampu temaram ruko menyorotinya bak seperti cahaya pada panggung konser.
Semua orang ikut bernyanyi, mengangkat semua beban di pundak dengan melafazkan lirik-lirik, tidak ada satu pun semua orang asing dengan lirik Kemesraan-Iwan Fals.
Ah, rasanya acapkali bernyanyi bersama orang-orang di jalanan. Suara-suara yang terpendam keluar begitu lantang. Sepertinya bagiku kita hanya bernyanyi di jalanan rangkaian penggugatan.
Di ujung tetes terakhir, kami menutup hidang kopi dengan selarik doa-doa. Aku yang bertengger sambil menahan dingin. Menulis doa ku pada buku catatan ku, begitu juga penyayi jalanan yang menggantungkan doa pada gitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H