Malam satu suro atau tahun baru islam adalah malam yang sakral bagi beberapa kalangan penduduk di Indonesia khususnya Jawa. Terlepas dari cerita yang menggelitik untuk dibahas dalam kemasan mistik, malam ini hanyalah malam pergantian tahun bagi umat islam yang menggunakan kalender bulan sebagai perhitungan hari yang digunakan.
Pada malam 1 Muharram 1437 H saya berkesempatan mengunjungi Desa Bambangan - Purbalingga yang notabene adalah basecamp dari pendakian Gunung Slamet yang kental akan sejarah dan aroma supranatural yang hidup hingga saat ini.
Pada selasa 13 Oktober 2015 saya dan sembilan anggota komunitas pecinta alam dari MAHATMA BANYUMAS (Manunggaling Hayat Marang Alam) sudah bersiap di sekre untuk kembali mengecek ulang perlengkapan untuk mendaki dan berkemah di Gunung Slamet. Kami pun menuju Bambangan seusai ba'da maghrib dengan mengendarai sepeda motor.
Ada yang membuat kami sempat sedikit panik saat tiba di Pratin (daerah sebelum Bambangan) saya terpisah dengan leader kami didepan karena disambut dengan badai kabut dengan jarak pandang hanya 10m. Karena pandangan yang terbatas saya sempat tersesat sampai menjumpai warga sekitar untuk bertanya arah menuju basecamp. Saya tertawa kecil dan merasa heran setelah tiba di basecamp karena sempat tersesat meski sudah kali ketiga mendaki Gunung tertinggi di Jawa Tengah ini.
Didesa Bambangan, suasana sudah terasa hangat dan ramai karena warga sekitar mulai keluar rumah menggunakan obor untuk berkumpul dan bershalawat lengkap dengan rebana dan pengeras suara sehingga dingin pada malam itu tak lagi kami hiraukan karena warga menghangatkan malam itu.
Kami memutuskan untuk istirahat sebentar di warung makan depan basecamp Bambangan tentunya setelah melakukan registrasi pendaftaran pendakian. Karena sudah diputuskan untuk mengambil trek malam tepat jam 00, kami dapat makan malam terlebih dahulu dan adaptasi dengan suhu yang rendah.
Kami berkenalan dengan teman pendaki dari Bintaro Jakarta yang sedang menikmati kopi didepan basecamp, bercerita tentang pengalaman mendaki dan sua duka sebagai pendaki sampai hal-hal yang berbau mistis. Untuk kali pertama dia mendaki Gunung Slamet, dia kapok dengan trek jalur pendakian yang ekstrim dan berat, badai kabut yang tiba-tiba menyerang serta hal-hal mistis diluar logika yang dia rasakan dalam pendakian.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam 23.45 WIB dan kami bersiap-siap untuk pendakian. Setelah berpamitan dan berdoa demi keselamatan dan kelancaran selama pendakian, kami langsung saja melalukan perjalanan dengan target pos dua atau tiga sebelum subuh.
Semua berjalan lancar sampai di pos 1 Gemirung setelah dua jam berjalan. Setengah jam yang diputuskan untuk beristirahat, aku menggunakan waktu ini untuk kembali merasakan rindu setelah 1 bulan lebih tak melihat pemandangan langit seindah ini. 'Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang menciptakan langit dan bumi serta seisinya untuk hambanya', gumamku dalam hati yang takjub sembari bersyukur.
"Tidak ada pendaki kecuali mereka yang memaknai bahwa setiap hela hembus nafas adalah dzikir, dan menapaki jalan terjal dan curamnya takdir." Adalah kutipan yang aku dapatkan setelah paham bahwa irama ketukan nafas dan melangkah itu selaras dengan dzikir. Sedangkan langkah kami disepanjang trek pendakian mengajarkan bahwa hidup sejatinya menjalankan setiap ketetapan-ketetapan yang Tuhan berikan, tidak ada daya selain dari-Nya, tak ada yang dapat disombongkan dari diri manusia dan akhirnya itu akan terbawa sebagai pengalaman untuk kehidupan kita sehari-hari.
--
Setelah sampai di pos 2 Walang, kami memutuskan mendirikan tenda dan beristirahat disana. Sementara yang lain tidur, saya dan dua teman lainnya diluar tenda menikmati sunyi dan dinginnya Gunung Slamet, dengan secangkir kopi dan beberapa biskuit. Tak ada yang spesial, tapi sudah kupastikan tak ada yang mengalahkan perasaan damai dan nyaman waktu itu.
Setelah pagi kami melanjutkan perjalanan dengan target pos 7 untuk kembali bermalam disana. Pos demi pos terlewati; pos 3 Pondok Cemara, pos 4 Samarantu, pos 5 Mata Air, pos 6 Samyang Rangkah, pos 7 Samyang Kendil. Saya dan Jeje, salah satu senior Mahatma sengaja meninggalkan rombongan di pos 5 yang sedang beristirahat untuk mencari tempat mendirikan tenda karena hari itu banyak sekali pendaki. Karena di pos 7 sudah penuh tenda, saya memutuskan memilih tempat dibawah pos 7 yang lumayan luas untuk bermalam disana. Karena masih pukul 2 siang, saya mulai menguluarkan kompor dan nesting untuk membuat makanan dan minuman agar setalah rombongan sampai mereka langsung bisa makan siang.
Ba'da asar saya mengajak 4 anggota rombongan yang masih terbilang pemula dan perdana mendaki Gunung Slamet untuk summit attack menuju bibir kawah Gunung Slamet. Setelah sejenak berdoa, saya sengaja berjalan cepat karena memburu waktu sampai diatas sebelum matahati terbenam agar dapat menikmati sunset disana. Melewati pos 8 dan akhirnya sampai di Plawangan atau batas vegetasi (Point of No Return), kami sejenak menghela nafas sambil mengambil beberapa foto disana. Hanya 10 menit kami beristirahat, saya memberikan tips dan trik untuk dapat melewati trek summit yang terbilang sangat ekstrim. Memerhatikan pijakan, pegangan, dan jurang di sebelah kanan trek.
Semua berjalan lancar, kami semua sampai di puncak Gunung Slamet dengan selamat dan tepat waktu. 1 jam lebih 15 menit dari pos 7 ke puncak dan disuguhi samudera awan jingga didepan kami, langit biru cerah di diatas kami dan matahari yang sebentar lagi pulang keperaduannya. Saya melihat mereka begitu senang kala itu, senyum lebar dan mata berkaca-kaca tak percaya bahwa mereka sampai di puncak tertinggi Jawa Tengah. Ya, saya juga merasakan hal yang sama kala pertama kali berada disana, setengah tidak percaya hingga menitikkan air mata.
Betapa kecil kita dihadapan-Nya, hingga merasa sangat bersalah karena sering melangkah dengan rasa sombong dan berbangga-bangga terhadap diri sendiri. Padahal tidak ada satupun hal yang dapat kita banggakan, apalagi kita sombongkan.
Setelah sejenak berdoa dan mengambil foto dengan pemandangan yang tidak setiap hari dilihat, kami memutuskan untuk segera turun dengan alasan angin yang semakin kencang juga gelap yang membuat trek terjal akan semakin menyeramkan.
Sesampainya di tenda tak ada kompromi lagi untuk membuat makanan dan minuman hangat karena perut mulai kosong dan kerongcongan. Lega sekali rasanya perut terisi, puas dan gelak tawa mereka membayangkan bagaimana perjuangan beberapa jam tadi memanjat antara hidup mati, menyerah pada ego atau memenangkan ambisi, sementara hati membisikkan bahwa tak ada kemenangan tanpa perjuangan.
Berkenalan dengan teman pendaki yang sama-sama mendirikan tenda di sebelah dan depan kami; ada yang dari Cilacap, Pekalongan dan Magelang. Berbagi minuman hangat dan makanan ringan sembari bercengkerama tentang pengalaman dan pelajaran berharga tentang mendaki.
---
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H