Dari uraian ini menunjukan bahwa partai-partai politik itu sendirilah yang menjegal, membatasi diri mereka sendiri, dan menutup partisipasi yang lebih luas. Mengapa mereka pada teriak-teriak tidak adil dan tidak jujur bila aturan yang ada adalah bikinan mereka sendiri.
Ketiga, tidak hanya undang-undang yang membatasi jumlah pasangan capres dan cawapres dalam pilpres. Orientasi kepada kemenangan juga membuat partai politik hanya mendukung pada calon yang mempunyai potensi besar untuk menang.
Kalau dilihat dari pilpres ke pilpes, partai politik semakin enggan mencalonkan kadernya untuk maju dalam pilres. Partai sebesar Golkar pun lebih memilih mendukung calon dari partai lain meski dirinya sebenarnya mampu.
Enggannya partai politik mengajukan calon dari kadernya sendiri menunjukan mereka tidak melakukan pendidikan politik yang demokratis. Partai politik yang ada saat memberikan contoh yang tidak baik bagi kemajuan demokrasi. Ia hanya mengejar sikap oportunis, ego, sehingga pilihan yang ada di masyarakat semakin sedikit dan hal demikian tidak sehat buat demokrasi.
Meski saat ini ada geliat dari PAN, PPP, dan Partai Golkar membentuk KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) serta partai-partai seperti PDIP, Gerindra, Demokrat, PKB, Nasdem, dan PKS, sedang mencair membangun koalisi, namun itu semua belum final.
Kelak, mereka di Pilpres 2024 bisa menciptakan suasana demokrasi yang sehat bisa pula sebaliknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H