Pertama, aturan yang mereka buat dari waktu ke waktu semakin tidak demokratis atau menutup diri dari partisipasi di luar mereka. Kalau kita lihat dalam perjalanan aturan yang mengatur pilpres, undang-undang yang dibuat dari tahun ke tahun semakin membatasi jumlah peserta.
Dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, disebut pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Dari aturan itu, pada Pilpres 2004, ada 5 pasangan capres dan cawapres. Banyaknya pasangan tersebut menjadikan pilihan rakyat lebih variatif dan semua kelompok, golongan, dan partai politik dirasa terwakili. Lima pasangan yang ada juga membuat banyak kutub di masyarakat sehingga suasana yang ada lebih cair.
Namun menjelang Pilpres 2009, aturan yang awalnya lebih longgar untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres diubah.
Dalam UU. No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebut pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Aturan ini dibuat di masa Presiden SBY.
Revisi undang-undang pemilu presiden dan wakil presiden tersebut rupanya menyimpan bom waktu. Saat ini bom itu sudah meledak sehingga menimbulkan polarisasi di masyarakat yang saling berhadapan serta ada perasaan dan perkataan bahwa pemilu tidak adil, tidak demokratis, hingga ungkapan dijegal.
Kali pertama aturan direvisi, masih lumayan pada praktiknya di lapangan. Pada Pilres 2009, ada tiga pasangan capres dan cawapres. Aturan yang tetap berlaku pada Pilpres 2014 itu selanjutnya di lapangan semakin mengerucut menjadi hanya dua pasangan capres dan cawapres.
Meski pada tahun 2017 ada perubahan, seperti termuat dalam Pasal 222 UU. No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, namun pada kenyataannya aturan itu tetap berat bagi partai politik menengah ke bawah yang hendak mengusung calonnya sendiri. Dan itu terbukti pada Pilpres 2019 hanya ada dua pasangan capres dan cawapres.
Bila aturan syarat suara di DPR dan nasional tidak diturunkan, suasana Pilpres 2014 dan 2019 akan terulang. Politisi gaduh, masyarakat pun demikian. Teriakan dan umpatan bahwa pemilu tidak demokratis, dijegal, terdengar lagi seperti memutar kaset lama.
Ketika syarat suara di DPR dan nasional terjangkau bagi partai politik menengah maka keinginan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang ingin menjadi capres akan tersalurkan. Syarat yang berat membuat pria yang akrab dipanggil Cak Imin itu harus rela mengurungkan niatnya dari capres menjadi cawapres atau bahkan sama sekali tidak maju dalam Pilpres.Â
Kedua, meski partai-partai itu merasa keberatan dengan aturan tentang presidential threshold seperti dalam Pasal 222 UU. No. 7 Tahun 2017, namun mereka sendiri tidak ada gerakan bersama untuk merevisi undang-undang tersebut. Hanya PKS saja yang peduli pada masalah itu dengan menempuh judicial review di MK. Di samping juga kelompok pro demokrasi lainnya yang melakukan langkah yang sama.