Melihat pertemuan antara Sutarwijaya dan kepala desa lainnya dengan Joko Widodo bersama menterinya, bisa jadi membuat orang kaget, wah ini rupanya bisa jadi namun selanjutnya pertemuan itu menjadi mentah sebab legalitas Apdesi di bawah pimpinan Sutarwijaya dipertanyakan.Â
Apdesi di bawah Ketua Umum Arifin Abdul Majid yang SK-nya berada di Kemenkumham mempertanyakan legalitas pertemuan itu selain dikatakan tidak semua kepala desa menyatakan dukungan tiga periode.
Entah kelompok mana yang akan didorong untuk melakukan cek ombak setelah partai politik dan sebagaian kepala desa gagal menjadi penarik gerbong bagi yang lain untuk menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode.
Kegagalan mereka dalam menyuarakan suara-suara yang tidak demokratis dan tak konstitusional mengalami penolakan sebab massifnya kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu (Orde Baru) di mana bila kekuasaan tidak dibatasi maka ia akan menjelma menjadi tiran. Kekuasan itu tidak memberi kesempatan yang lain untuk berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan yang ada hanya dinikmati oleh presiden dan orang-orang di sekelilingnya sehingga kekayaan yang mereka keruk selama masa itu masih bisa dinikmati oleh anak, cucu, bahkan cicit-cicitnya.
Untuk itu kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu perlu terus untuk siaga dan mawas diri terhadap segala kemungkinan keinginan untuk menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan tiga periode bahkan seumur hidup muncul kembali.Â
Bisa jadi mereka untuk sementara waktu tiarap namun nanti ada lagi dengan bentuk yang bisa jadi lebih tertata, legal, dan massif bahkan menggunakan nilai-nilai agama, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru.
Entah mengapa ada masyarakat yang mendorong atau mendukung perpanjangan jabatan tiga periode atau penundaan pemilu. Padahal dalam UUD NRI Tahun 1945 jelas-jelas diatur tentang pemilu setiap lima tahun sekali dan masa jabatan presiden dua periode.
Ketidaktahuan mereka inilah yang menjadi tantangan bagi kelompok pro konstitusi untuk menjelaskan dan mensosialisasikan tentang hal yang ini agar masyarakat paham dalam proses bernegara.
Di sinilah penting diberikan pendidikan politik dan sejarah kepada masyarakat agar mereka memahami mekanisme proses kehidupan. Pendidikan yang demikian perlu agar rakyat tidak terjerumus pada masa lalu yang kelam.
Jadi di sini kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu, bila melakukan gerakan tidak hanya menentang upaya-upaya melanggar konstitusi namun juga memberikan kesadaran dan pendidikan konstitusional kepada masyarakat.Â