Meski Presiden Joko Widodo melarang menterinya mengumbar wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, hal demikian jangan membuat kita langsung senang, lega, dan lengah. Sebab, sebagai seorang presiden yang dikeliling oleh para politisi dan pembisik yang mempunyai kepentingan tertentu, apa yang disampaikan itu bisa berubah.
Dalam dunia politik dan kekuasan pepatah Jawa yang mengatakan isuk dele sore tempe dianggap sebagai suatu hal yang biasa, wajar, dan lumrah.
Selama menjadi presiden sejak tahun 2014 hingga saat ini, kebijakan yang dikeluarkan oleh Joko Widodo pun juga kerap tak sesuai dengan janjinya.
Memang dirinya melarang menterinya mengumbar penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan tiga periode, namun di luar itu banyak yang mengarah ke sana seperti yang dilakukan oleh Ketua PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlanggar Hartarto, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.Â
Mereka beberapa waktu yang lalu dengan tegas dan mengatasnamakan sebagai ketua partai menyatakan pemilu perlu ditunda atau masa jabatan presiden diperpanjang dengan berbagai alasan bahkan sampai Perang Rusia-Ukraina juga dijadikan salah satu point mengapai Pemilu 2024 perlu ditunda.
Tak hanya partai politik yang melakukan demikian, para kepala desa yang tergabung dalam Apdesi pimpinan Sutarwijaya bahkan secara langsung di depan muka presiden dan para menteri mendukung Joko Widodo tiga periode. Selepas Lebaran konon katanya mereka akan melakukan deklarasi.
Dalam rentang waktu hingga 2024, dukungan-dukungan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode bisa saja muncul kembali meski kerap Joko Widodo mengatakan menolakan, dari yang disebut mau menampar muka saya, taat konstitusi, dan melarang menterinya mengumbar masalah itu.
Test on the water atau cek ombak akan terus dilakukan. Dukungan dari ketiga partai politik, yakni PKB, PAN, dan Golkar sepertinya gagal sebab beberapa partai yang lain, bahkan PDIP sendiri sebagai pilar kekuasaan Joko Widodo, tegas-tegas menolaknya.Â
Harapan dari ketiga partai itu rupanya tidak diikuti oleh partai-partai yang lain sehingga keinginan untuk menunda pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden lewat jalur politik yang resmi, dalam kebijakan bahkan amandemen UUD NRI Tahun 1945, tidak akan terjadi selama mereka (partai penolak penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan 3 periode) masih konsisten dengan ucapannya. Sebagai politisi, omongan mereka kan juga tidak bisa dipegang.
Ketika cek ombak dari partai politik rupanya tidak gayung bersambut maka dilakukanlah lewat Apdesi di bawah pimpinan Sutarwijaya.
Melihat pertemuan antara Sutarwijaya dan kepala desa lainnya dengan Joko Widodo bersama menterinya, bisa jadi membuat orang kaget, wah ini rupanya bisa jadi namun selanjutnya pertemuan itu menjadi mentah sebab legalitas Apdesi di bawah pimpinan Sutarwijaya dipertanyakan.Â
Apdesi di bawah Ketua Umum Arifin Abdul Majid yang SK-nya berada di Kemenkumham mempertanyakan legalitas pertemuan itu selain dikatakan tidak semua kepala desa menyatakan dukungan tiga periode.
Entah kelompok mana yang akan didorong untuk melakukan cek ombak setelah partai politik dan sebagaian kepala desa gagal menjadi penarik gerbong bagi yang lain untuk menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode.
Kegagalan mereka dalam menyuarakan suara-suara yang tidak demokratis dan tak konstitusional mengalami penolakan sebab massifnya kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu (Orde Baru) di mana bila kekuasaan tidak dibatasi maka ia akan menjelma menjadi tiran. Kekuasan itu tidak memberi kesempatan yang lain untuk berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan yang ada hanya dinikmati oleh presiden dan orang-orang di sekelilingnya sehingga kekayaan yang mereka keruk selama masa itu masih bisa dinikmati oleh anak, cucu, bahkan cicit-cicitnya.
Untuk itu kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu perlu terus untuk siaga dan mawas diri terhadap segala kemungkinan keinginan untuk menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan tiga periode bahkan seumur hidup muncul kembali.Â
Bisa jadi mereka untuk sementara waktu tiarap namun nanti ada lagi dengan bentuk yang bisa jadi lebih tertata, legal, dan massif bahkan menggunakan nilai-nilai agama, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru.
Entah mengapa ada masyarakat yang mendorong atau mendukung perpanjangan jabatan tiga periode atau penundaan pemilu. Padahal dalam UUD NRI Tahun 1945 jelas-jelas diatur tentang pemilu setiap lima tahun sekali dan masa jabatan presiden dua periode.
Ketidaktahuan mereka inilah yang menjadi tantangan bagi kelompok pro konstitusi untuk menjelaskan dan mensosialisasikan tentang hal yang ini agar masyarakat paham dalam proses bernegara.
Di sinilah penting diberikan pendidikan politik dan sejarah kepada masyarakat agar mereka memahami mekanisme proses kehidupan. Pendidikan yang demikian perlu agar rakyat tidak terjerumus pada masa lalu yang kelam.
Jadi di sini kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu, bila melakukan gerakan tidak hanya menentang upaya-upaya melanggar konstitusi namun juga memberikan kesadaran dan pendidikan konstitusional kepada masyarakat.Â
Memberikan kesadaran dan pendidikan kepada masyarakat tidak harus di kelas namun bisa dilakukan lewat tulisan di media massa dan atau lewat unggahan-unggahan di media sosial.
Semakin banyak tulisan dan unggahan yang mencerdaskan masyarakat maka ketika ada hal-hal yang sifatnya tak konstitusional maka di sana akan terjadi penolakan yang sifatnya alamiah tanpa digerakan atau dimanipulasi.
Kekuasaan yang ingin memperpanjang masa jabatan tidak hanya terjadi pada era saat ini, pada masa yang akan datang, hal demikian juga bisa muncul kembali.
Untuk itu kelompok-kelompok konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu harus terjaga keberadaannya.Â
Sebagai kelompok di luar kekuasaan, yang keberadaannya tidak dibayar, kelompok ini bisa berpindah posisi karena iming-iming nikmatnya kekuasaan dan ini sudah banyak terjadi di mana aktivis yang dulu koar-koar anti ini anti itu tiba-tiba diam ketika mereka sudah mendapat jabatan dan posisi di pemerintahan.Â
Dengan demikian perlu keteguhan hati untuk menjadi pihak yang konstitusional, pro demokrasi, anti otoritarianisme, serta trauma masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H