Ada beberapa partai politik, di antaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN), menolak terhadap rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Ada beberapa masalah yang menyebabkan kedua partai yang berbasis massa Islam itu menolak adanya revisi.
Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa, menilai perubahan UU Pemilu yang relatif cepat akan membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi. Saat ini menurutnya diperlukan kemantapan demokrasi prosedural supaya demokrasi substansial bisa bekerja.
Suharso menuturkan, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menurutnya tetap 20 persen dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tetap di angka 4 persen. Empat persen ambang batas parlemen dikatakan sudah tinggi. Bila ambang batas parlemen kian tinggi hal demikian disebut menyebabkan makin tingginya suara rakyat yang tersia-siakan.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Menurutnya, UU Pemilu yang berlaku masih sangat baru, secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4 tahun hingga 5 tahun terakhir. Sehingga mantan Ketua MPR itu menyebut revisi belum perlu dilakukan.
Meski lolos dalam ambang batas parlemen pada Pemilu 2019, namun posisi kedua partai tersebut dalam urutan buncit. Dari 9 partai politik yang lolos ke Senayan, PAN dengan perolehan suara 9.572.623 (6,84 persen) berada pada urutan 8, sedang PPP dengan perolehan 6.323.147 (4,52 persen) menduduki posisi ke-9 atau juru kunci.
Posisi yang demikian membuat bisa dikatakan PPP dan PAN sebagai partai kecil sehingga daya tawar terhadap kekuatan politik yang lain sangat lemah. Terbukti PPP hanya dapat mendapat satu kursi menteri dan PAN yang juga sebagai pendukung pemerintah malah tak mendapat kursi menteri.
Posisi yang demikian sangat rawan bila mengikuti Pemilu 2024 dengan bila revisi UU Pemilu dilakukan. Dalam rencana revisi, partai lain terutama partai besar, mengusulkan atau menginginkan ambang batas parlemen dinaikan dari 4 persen menjadi 5 persen bahkan 7 persen. Bila usulan tersebut disetujui, membuat PAN dan PPP, bisa lolos namun juga kemungkinan besar tidak lolos ambang batas.
Semakin beratnya Pemilu dari masa ke masa dengan adanya ambang batas, membuat banyak partai politik tumbang satu persatu. Setelah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), selanjutnya yang terakhir Partai Hanura, gagal lolos ke parlemen setelah mereka tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan. Dan untuk 'bangkit' kembali dari ketumbangannya, rasanya sulit sekali, buktinya PBB terus bisa ikut Pemilu namun dirinya selalu mengalami kegagalan.
Bila ambang batas naik menjadi 5 persen, semua partai tentu harus tetap bekerja keras apalagi PPP dan PAN. Naiknya ambang batas tentu membuat, terutama, kedua partai itu harus mati-matian menarik simpati dan empat dari para pemilih agar suara mereka dalam Pemilu 2024 bisa naik.
Tentu hal demikian tidak mudah sebab diperlukan dana yang besar serta aksi nyata atau kerja politik yang berhasil menaruh harapan pada para pemilih (masyarakat). Naik dan turunnya raihan suara, biasanya ditentukan oleh sejauh mana partai politik bisa menggalang dukungan dari masyarakat. Datangannya dukungan tersebut ditentukan oleh sejauh mana ia benar-benar dekat dengan rakyat.
PPP, misalnya, dari Pemilu ke Pemilu suaranya semakin jauh, terus mengecil, berbeda pada masa Pemilu waktu Orde Baru. Hal demikian terjadi sebab partai ini sepertinya semakin menjauh dari kepentingan ummat sehingga ummat pun memilih partai yang berhaluan Islam lainnya untuk memperjuangkan aspirasinya.
Dalam mencari kesepakatan tentang ambang batas, di antara partai-partai politik yang ada sepertinya tidak ada solidaritas atau saling menolong. Partai-partai politik dalam memperjuangkan ambang batas lebih ditentukan oleh kepentingan dirinya sendiri. Unsur persamaan ideologi dan agama tidak dijadikan acuan untuk berjuang secara bersama.
PAN dan PPP merupakan asset ummat Islam. Bila partai ini tidak lolos dari ambang batas, maka saluran-saluran ummat Islam dalam memperjuangkan aspirasinya akan menjadi hilang. Dikatakan oleh para penolak revisi, semakin tinggi ambang batas, akan menyebabkan banyaknya suara yang hilang.
Memang masih ada partai yang berbasis pada pemilih ummat Islam, seperti PKS dan PKB, namun bila semakin banyak partai Islam tentu akan semakin baik dalam memperjuangkan aspirasi ummat.
Namun sepertinya dalam masalah ambang batas, masing-masing partai memperjuangkan kepentingannya sendiri. Selama tidak ada hal-hal yang mengganggu keberadaan partai, mereka memilih tidak bersikap. Mereka buka suara bila hanya ada hal-hal yang dirasa mengganggu keberadaan mereka.
Sebagai sesama partai yang berbasis dukungan ummat Islam, seharusnya PKS dan PKB, 'membantu' PAN dan PPP agar mereka tetap bisa tetap lolos ke parlemen. Bantuan yang perlu diberikan adalah tetap mempertahankan ambang batas sebesar 4 persen. Dukungan yang diberikan oleh PKB dan PKS kepada PAN dan PPP tidak akan membuat suara pemilih mereka hilang.
PKB dengan perolehan suara 13.570.097 (9,69 persen) menduduki urutan 4. Sedang PKS dengan perolehan suara 11.493.663 (8,21 persen) menduduki urutan ke-6. Suara mereka jauh dari ambang batas yang telah ditetapkan 4 persen.
Namun sepertinya PKS dan PKB lebih memilih diam dalam melihat saudaranya 'seagama', PAN dan PPP, yang terancam tak lolos dalam ambang batas. Bila yang 'seagama' saja tak menolong apalagi yang haluannya jelas-jelas berbeda. Inilah politik yang tak mempunyai solidaritas meski sesama idelogi dan agama.
Dalam dunia politik, bisa jadi ada unsur kuat-kuatan tanpa memandang ideologi dan agama. Partai yang kuat akan selalu meniadakan partai yang berada di bawahnya. Dunia politik lebih memilih rivalitas daripada solidaritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H