Bila hubungan antarfraksi di parlemen dan DPR dengan pemerintah normal maka produktifitas DPR akan menjadi lebih baik. Mereka dengan bertanggungjawab akan segera menuntaskan beban-beban kerja yang ada. Namun bila hubungan antarfraksi di parlemen dan hubungan antara DPR dan pemerintah saling sikut dan saling boikot maka hal yang demikian akan mengganggu produktifitas yang ada.
Sebelum melihat hubungan antarfraksi dan antara DPR dan pemerintah, kita lihat saja dulu di internal partai. Konflik antara Fachri Hamzah dan PKS, itu saja sudah mengganggu kinerja pimpinan DPR. Pun saat Ketua DPR Setyo Novanto tersandung kasus Papa Minta Saham, energi pimpinan DPR tersedot pada masalah itu. Jadi problem mandulnya DPR bukan hanya karena tidak berkualitasnya anggota DPR namun juga bisa disebabkan oleh konflik internal partai politik dan masalah pribadi pimpinan DPR.
Selanjutnya, terbelahnya kubu fraksi di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di awal-awal DPR Periode 2014-2019 berjalan, juga sangat mempengaruhi perjalanan produktifitas legislasi. Konflik yang berlarut-larut tersebut membuat mereka lebih sibuk mengumbar ego daripada bagaimana menyelesaikan tanggungjawab yang mereka pikul sebagai anggota DPR.
Konflik yang menunda penyelesaian produk undang-undang itu menjadi lebih menyedihkan bagi DPR ketika pemerintah melarang menterinya untuk hadir di DPR sehingga pembahasan undang-undang pun juga menjadi terhambat. Hal-hal semacam inilah yang tidak disadari oleh pimpinan DPR dan masyarakat bahwa mandulnya DPR bukan hanya dikarenakan anggotanya tidak berkualitas namun juga dipengaruhi oleh hubungan antarfraksi di parlemen dan hubungan DPR dan pemerintah. Meski anggota DPR berkualitas, entah dengan Sekolah Parlemen atau tidak, namun bila konflik di DPR dan hubungan antara DPR dan pemerintah tidak normal, hal itu juga sebagai faktor penghambat produktifitas DPR.