Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sekolah Parlemen Bukan Jawaban Problem DPR

5 September 2016   08:13 Diperbarui: 5 September 2016   08:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila Sekolah Parlemen yang digagas oleh pimpinan DPR terwujud maka sebentar lagi Gedung DPR di Senayan, Jakarta, akan semakin sepi, kenapa? Karena anggota DPR pada pergi ke Sekolah Parlemen dan sibuk mengerjakan ‘PR” alias pekerjaan rumah.

Pimpinan DPR menggagas Sekolah Parlemen bisa jadi mereka prihatin banyaknya anggota DPR yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Ketidakbisaan para wakil rakyat dalam bekerja membuat DPR tidak produktif dalam legislasi, lemah dalam pengawasan, dan tidak bisa memperjuangkan anggaran pro rakyat. Keprihatinan pimpinan DPR semakin menjadi-jadi ketika para wakil rakyat itu harus berhadapan dengan pemerintah atau masyarakat yang lebih pandai dan ahli sehingga dalam pertemuan tersebut terlihat ada wakil rakyat tak pandai, tidak tepat bahkan salah dalam berargumen.

Problem-problem seperti itulah yang membuat malu pimpinan DPR. Untuk itu mereka hendak menyekolahkan anggotanya agar menjadi lebih cerdas dan bisa memahami masalah yang dihadapi. Selepas lulus sekolah, diharapkan oleh pimpinan DPR, kinerja lembaga negara itu menjadi produktif dan bisa menandingi pemerintah yang lebih pandai dan ahli.

Dari 560 anggota DPR, mereka mempunyai latar belakang dan jenjang pendidikan yang beragam. Keragaman latar belakang dan pendidikan anggota DPR sebab syarat untuk menjadi wakil rakyat mudah, hanya dengan ijazah SMA, rakyat bisa mendaftarkan diri menjadi calon anggota DPR. Dengan syarat itu, bisa jadi masuk perguruan tinggi atau melamar pekerjaan di sebuah instansi lebih sulit dibanding menjadi wakil rakyat. Bayangkan bila seseorang melamar pekerjaan di sebuah instansi, mereka harus melewati banyak tahapan. Tahapan yang dilakukan bisa sampai lima tingkat.

Mudahnya syarat melamar menjadi anggota DPR, di satu sisi menunjukkan berjalannya sebuah demokrasi, yakni terjaminnya hak memilih dan dipilih bagi semua warga negara tanpa pandang bulu namun di sisi yang lain mudahnya syarat itu membuat tak ada seleksi yang ketat. Akibatnya siapa saja bisa melamar. Dengan kondisi yang demikian sistem perekrutan untuk menjadi wakil rakyat seperti masuk pasar becek, siapa saja bebas bisa masuk tanpa pemeriksaan.

Ketika tak ada syarat-syarat yang ketat maka problem muncul ketika sudah menjadi anggota DPR, seperti paparan di atas, tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Sebab mereka gagap menghadapi pekerjaan maka kinerja dan produktifitas yang diharapkan segera terwujud tidak akan tercapai. Sebagai anggota yang baru, mereka harus menyesuaikan diri dan belajar. Hal yang demikian membutuhkan waktu yang tidak cepat, bisa jadi dibutuhkan waktu satu tahun untuk melakukan adaptasi secara alamiah untuk memahami tugas-tugasnya.

Sekolah Parlemen yang digagas bisa jadi merupakan sindiran kepada partai politik. Dengan mewajibkan para wakil rakyat untuk bersekolah maka menunjukkan bahwa anggota yang terpilih tidak berkualitas. Kelak semakin banyak anggota DPR dari sebuah partai yang bersekolah maka akan berkorelasi dengan partai itu yang juga tak berkualitas.

Menjelang Pemilu, biasanya partai politik gelap mata. Orientasi mereka saat itu hanya bagaimana meraih kursi sebanyak-banyaknya. Orientasi mereka itulah yang membuat nalar sehat partai politik menjadi hilang sehingga mereka merekrut siapa saja yang mempunyai peluang besar untuk merebut kursi. 

Sosok seperti itu biasanya ada pada orang yang popular dan atau mempunyai kemampuan finansial yang besar untuk mendanai kampanye. Tak ada larangan partai politik mencalonkan artis atau pengusaha, semua warga negara mempunyai hak yang sama. Dari sinilah mayoritas partai politik mencalonkan artis serta pengusaha dan terbukti mereka terpilih. Sayangnya partai politik dalam mencalonkan sosok seperti itu mengabaikan kualitas yang diperlukan sehingga sosok seperti itu keberadaannya sering dituduh menghambat kinerja DPR.

Problem kinerja DPR seperti yang dikeluhkan oleh banyak pihak, sudah muncul sejak DPR sebelum-sebelumnya. Yang menjadi kambing hitam pun juga itu-itu saja. 

Untuk menjadikan DPR lebih berkualitas tidak akan terjawab hanya dengan membuat Sekolah Parlemen. Kualitas demokrasi itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kualitas pendidikan masyarakat, kemakmuran ekonomi, dan yang paling penting adalah hubungan antarfraksi di parlemen dan hubungan DPR dengan pemerintah (Presiden).

Bila hubungan antarfraksi di parlemen dan DPR dengan pemerintah normal maka produktifitas DPR akan menjadi lebih baik. Mereka dengan bertanggungjawab akan segera menuntaskan beban-beban kerja yang ada. Namun bila hubungan antarfraksi di parlemen dan hubungan antara DPR dan pemerintah saling sikut dan saling boikot maka hal yang demikian akan mengganggu produktifitas yang ada.

Sebelum melihat hubungan antarfraksi dan antara DPR dan pemerintah, kita lihat saja dulu di internal partai. Konflik antara Fachri Hamzah dan PKS, itu saja sudah mengganggu kinerja pimpinan DPR. Pun saat Ketua DPR Setyo Novanto tersandung kasus Papa Minta Saham, energi pimpinan DPR tersedot pada masalah itu. Jadi problem mandulnya DPR bukan hanya karena tidak berkualitasnya anggota DPR namun juga bisa disebabkan oleh konflik internal partai politik dan masalah pribadi pimpinan DPR.

Selanjutnya, terbelahnya kubu fraksi di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di awal-awal DPR Periode 2014-2019 berjalan, juga sangat mempengaruhi perjalanan produktifitas legislasi. Konflik yang berlarut-larut tersebut membuat mereka lebih sibuk mengumbar ego daripada bagaimana menyelesaikan tanggungjawab yang mereka pikul sebagai anggota DPR.

Konflik yang menunda penyelesaian produk undang-undang itu menjadi lebih menyedihkan bagi DPR ketika pemerintah melarang menterinya untuk hadir di DPR sehingga pembahasan undang-undang pun juga menjadi terhambat. Hal-hal semacam inilah yang tidak disadari oleh pimpinan DPR dan masyarakat bahwa mandulnya DPR bukan hanya dikarenakan anggotanya tidak berkualitas namun juga dipengaruhi oleh hubungan antarfraksi di parlemen dan hubungan DPR dan pemerintah. Meski anggota DPR berkualitas, entah dengan Sekolah Parlemen atau tidak, namun bila konflik di DPR dan hubungan antara DPR dan pemerintah tidak normal, hal itu juga sebagai faktor penghambat produktifitas DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun