Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menciptakan Infrastruktur Sosial-Budaya Mundur

31 Desember 2015   08:30 Diperbarui: 31 Desember 2015   11:41 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merasa Gagal Atasi Macet, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Mengundurkan Diri. (http://ppid.dephub.go.id)

Dengan alasan ketidakmampuan mengatasi lonjakkan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tol, Dirjen Hubungan Darat Kementerian Perhubungan, mengundurkan diri. Sebagaimana kita ketahui liburan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Natal Isa Almasih yang berhimpit dengan hari Sabtu dan Minggu membuat rentang waktu bebas kerja menjadi panjang. 

Libur panjang ini dimanfaatkan oleh warga untuk melakukan perjalanan berwisata atau mudik ke kampung halaman. Dengan alasan naik kendaraan pribadi lebih praktis maka seluruh orang menggunakan sarana transportasi yang demikian. Akibatnya di jalan-jalan seperti terjadi tsunami kendaraan roda empat, jalan-jalan dibanjiri ribuan bahkan jutaan mobil.

Kembali soal mundurnya pejabat yang tidak mampu mengatasi kerja yang dibebankan, apa yang dilakukan Dirjen Perhubungan Darat itu bukan orang pertama. Sebelumnya dengan alasan yang sama, tidak mampu mencapai capaian, Dirjen Pajak juga memilih meninggalkan jabatannya untuk mundur. Setelah itu, dengan alasan minta saham PT. Freeport, Setya Novanto juga menyatakan diri mundur sebagai Ketua DPR.

Mundur bila pejabat tidak mampu bekerja atau karena alasan tertentu seperti dilakukan oleh ketiga orang tadi disebut sebagai budaya baru yang perlu dikembangkan. Dengan budaya itu menjadikan orang lebih bertanggungjawab dalam mengemban amanahnya.

Budaya mundur bila seseorang tidak mampu bekerja atau karena alasan tertentu, di negara lain sudah menjadi kebiasaan. Jepang disebut sebagai negara yang mempunyai budaya mundur bila seseorang tidak mampu bekerja atau melakukan kesalahan. Bahkan bila orang Jepang bila melakukan kesalahan atas pekerjaan yang dilakukan, mereka tidak hanya mundur namun melakukan harakiri, bunuh diri untuk menebus dosa atas kelalaian atau kesalahan yang dibuatnya.

Dari budaya seperti ini maka pemerintahan Jepang sering gonta-ganti. Mereka gonta-ganti bukan karena masalah-masalah politik atau dijatuhkan namun mereka merasa tidak mampu bekerja. Selain itu di kalangan masyarakat proffesional banyak juga yang melakukan hal demikian dengan alasan tak mampu menjalankan tugas dengan baik dan benar.

Lalu cocokkah budaya mundur itu dikembangkan di Indonesia? Dari segi normatif cocok. Apapun yang sifatnya normatif itu pasti bagus dan memberi pelajaran yang positif pada masyarakat namun kalau budaya mundur ini mau dikembangkan, perlu diciptakan ‘infrastruktur’ sosial yang mendukung agar budaya mundur ini memberi nilai positif pada si pelaku dan tidak menimbulkan sikap pro dan kontra pada masyarakat.

Budaya mundur di Jepang sebagai bentuk kehormatan bisa jadi memang yang melakukan mundur itu adalah ‘pelaku tunggal’ dari kesalahan yang dibuat. Sebagai negara yang memiliki budaya kerja dan disiplin yang sangat tinggi, gerak dinamika masyarakat di sana selalu terukur. Apa yang dilakukan akan menjadi gerak yang saling mendukung. Bila ada yang tidak bekerja dengan baik dan tak disiplin, itu akan mengganggu ritme kerja yang lain. Yang tidak disiplin itulah yang menyebabkan gangguan dari sistem kerja yang saling terhubung. Atas kesalahannya itu maka ia diwajibkan untuk mundur karena telah mengganggu sistem yang berjalan.

Hal demikian lain dengan di Indonesia, budaya kerja di Indonesia antara satu dengan yang lain tidak seirama, ada yang bekerja keras, ada yang santai, ada pula yang malah meninggalkan kerja. Akibat yang demikian, maka koneksi atau hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak sejalan. Bagian yang satu belum tentu didukung oleh yang lainnya. Dengan sistem yang terhubung maka ukuran seseorang melakukan kinerjanya baik atau buruk tidak ada ukuran yang pasti.

Bila si A melakukan kerja dengan baik dan si B melakukan kerja yang buruk, kemudian mereka disatukan dalam sistem, lalu hasilnya tak maksimal. Hasil tak maksimal itu apakah publik tahu karena itu gara-gara si B yang tak maksimal dalam melakukan kinerja?

Kemacetan yang terjadi pada saat libur Maulid Nabi dan Natal kemarin kalau kita jujur bukan hanya karena Dirjen Perhubungan Darat yang salah. Dalam kemacetan ini banyak institusi yang saling terkait, seperti kepolisian, Kementerian Pekerjaan Umum, pemerintah daerah, pengguna jalan, dan pihak-pihak lain.

Bisa saja kemacetan itu terjadi karena infrastruktur jalan yang tidak memadai sehingga jutaan mobil tidak mampu tertampung di jalan, nah di sini Kementerian Pekerjaan Umum tidak melakukan respon atas apa yang terjadi. Bisa juga polisi tidak melakukan antisipasi dan rekayasa lalu lintas sehingga gerakkan kendaraan tidak bisa dikendalikan. Bisa pula pemerintahan daerah tidak mau tahu apa yang terjadi di wilayahnya sebab mereka mengatakan jalan yang dilintasi bukan tanggungjawabnya, padahal tempat-tempat wisata yang memberi kontribusi di daerahnya kan juga mempunyai andil mengapa orang-orang pada ke sana. Bisa pula karena pengguna jalan tidak patuh berlalu lintas sehingga mereka berlalu lintas seenaknya, seperti berhenti di bahu jalan tanpa merasa bersalah.

Kalau kita lihat di sini kemacetan adalah lingkaran setan. Kalau sudah seperti lingkaran setan, lalu siapa yang menjadi malaikat? Dirjen Perhubungan Darat mungkin terlalu merasa bersalah. Dia mungkin tak sadar bahwa kemacetan yang terjadi bisa jadi karena faktor di luar tanggung jawab darinya. Bila demikian, tentu mengundurkan diri sebagai sebuah hal yang merugikan sebab bisa jadi orang yang ahli gagal melakukan kinerjanya karena tidak didukung oleh pihak lain.

Jadi dalam hal ini, bila kita mau mengembangkan budaya mundur perlu diciptakan infrastruktur sosial yang mendukung budaya baru itu. Infrastruktur sosial itu, Pertama, kesadaran bahwa sebuah tugas adalah tanggung jawab bersama. Di Indonesia, orang melakukan kerja masih dikungkung rasa ego sektoral. Mereka cenderung saling lempar tanggung jawab atau saling menyalahkan bila ada sesuatu. Bila sudah merasa satu tugas satu tujuan maka mundur bukan sebuah kesiasiaan.

Kedua, kedisplinan semua pihak. Kalau kita lihat di negara-negara maju, kedisiplinan merupakan nafas dalam setiap kehidupan sehingga masalah yang sering kita jumpai, alami, dan temui di Indonesia, tak terjadi di sana. Kemacetan yang terjadi kemarin, pastinya juga disebabkan tipisnya rasa kedisplinan.  

Ketiga, bila sudah merasa tanggung jawab bersama dan terbentuk kedisplinan, baru mengembangkan budaya mengukur kemampauan diri sendiri. Selama ini orang tidak pernah merasa mengukur kemampuan diri sendiri. Jabatan di Indonesia lebih banyak diisi bukan karena proffesionalisme namun karena kedekatan dengan penguasa. Akibat yang demikian mereka tetap saja dipertahankan pada sebuah jabatan meski tidak mampu bekerja. Jadi merasa bisa atau tidak harus dikembangkan sebagai budaya. Artinya kalau tidak bisa jangan merasa bisa. #mengundurkandiri

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun