Kemacetan yang terjadi pada saat libur Maulid Nabi dan Natal kemarin kalau kita jujur bukan hanya karena Dirjen Perhubungan Darat yang salah. Dalam kemacetan ini banyak institusi yang saling terkait, seperti kepolisian, Kementerian Pekerjaan Umum, pemerintah daerah, pengguna jalan, dan pihak-pihak lain.
Bisa saja kemacetan itu terjadi karena infrastruktur jalan yang tidak memadai sehingga jutaan mobil tidak mampu tertampung di jalan, nah di sini Kementerian Pekerjaan Umum tidak melakukan respon atas apa yang terjadi. Bisa juga polisi tidak melakukan antisipasi dan rekayasa lalu lintas sehingga gerakkan kendaraan tidak bisa dikendalikan. Bisa pula pemerintahan daerah tidak mau tahu apa yang terjadi di wilayahnya sebab mereka mengatakan jalan yang dilintasi bukan tanggungjawabnya, padahal tempat-tempat wisata yang memberi kontribusi di daerahnya kan juga mempunyai andil mengapa orang-orang pada ke sana. Bisa pula karena pengguna jalan tidak patuh berlalu lintas sehingga mereka berlalu lintas seenaknya, seperti berhenti di bahu jalan tanpa merasa bersalah.
Kalau kita lihat di sini kemacetan adalah lingkaran setan. Kalau sudah seperti lingkaran setan, lalu siapa yang menjadi malaikat? Dirjen Perhubungan Darat mungkin terlalu merasa bersalah. Dia mungkin tak sadar bahwa kemacetan yang terjadi bisa jadi karena faktor di luar tanggung jawab darinya. Bila demikian, tentu mengundurkan diri sebagai sebuah hal yang merugikan sebab bisa jadi orang yang ahli gagal melakukan kinerjanya karena tidak didukung oleh pihak lain.
Jadi dalam hal ini, bila kita mau mengembangkan budaya mundur perlu diciptakan infrastruktur sosial yang mendukung budaya baru itu. Infrastruktur sosial itu, Pertama, kesadaran bahwa sebuah tugas adalah tanggung jawab bersama. Di Indonesia, orang melakukan kerja masih dikungkung rasa ego sektoral. Mereka cenderung saling lempar tanggung jawab atau saling menyalahkan bila ada sesuatu. Bila sudah merasa satu tugas satu tujuan maka mundur bukan sebuah kesiasiaan.
Kedua, kedisplinan semua pihak. Kalau kita lihat di negara-negara maju, kedisiplinan merupakan nafas dalam setiap kehidupan sehingga masalah yang sering kita jumpai, alami, dan temui di Indonesia, tak terjadi di sana. Kemacetan yang terjadi kemarin, pastinya juga disebabkan tipisnya rasa kedisplinan. Â
Ketiga, bila sudah merasa tanggung jawab bersama dan terbentuk kedisplinan, baru mengembangkan budaya mengukur kemampauan diri sendiri. Selama ini orang tidak pernah merasa mengukur kemampuan diri sendiri. Jabatan di Indonesia lebih banyak diisi bukan karena proffesionalisme namun karena kedekatan dengan penguasa. Akibat yang demikian mereka tetap saja dipertahankan pada sebuah jabatan meski tidak mampu bekerja. Jadi merasa bisa atau tidak harus dikembangkan sebagai budaya. Artinya kalau tidak bisa jangan merasa bisa. #mengundurkandiri
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H