Hari masih terlihat pagi namun ratusan orang sudah mengantri di square Museum Louvre (Musee du Louvre), Paris, Perancis. Antrian itu mengular begitu panjang. Dari ratusan orang yang hendak melihat museum yang sudah dibuka sejak tahun 1793 itu selain berwajah bule, juga tak sedikit yang berwajah Asia Timur, entah itu orang Jepang, China, Taiwan, atau Korea.
Di tengah antrian calon pengunjung yang bergerak lamban menuju pintu masuk museum, menyeruak penjual minuman dan souvenir yang menawarkan dagangannya. Minuman aqua dan souvenir itu dijual antara 1 Euro hingga 10 Euro. Penjual minuman yang saya lihat, sepertinya ia orang Asia Selatan yang berkulit sedikit gelap, sedang yang menjual souvenir mayoritas adalah orang-orang keturunan Afrika yang sudah menjadi warga negara Perancis atau imigrant ilegal.
Mereka bisa berada di antara calon pengunjung sebab polisi sedang tidak berada di tempat itu. Bila ada polisi, mereka tidak berani di sela-sela antrian sambil menawarkan dagangannya. Bisa pula polisi sudah malas menindak mereka sebab sepertinya mereka tidak jera dimasukkan dalam penjara. Ada yang mengatakan, mereka malah senang masuk penjara sebab di tempat itu mereka mendapat makanan dan minum secara gratis.
Problem kaum imigrant, pekerja kasar, di Perancis adalah mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang sempit dengan dihuni oleh puluhan orang. Hingga untuk membagi ruang yang ada, mereka harus membagi waktu, ada yang bekerja di saat malam, ada pula yang bekerja di saat siang. Masalahnya tidak sampai di situ, mereka juga harus menghadapi ekonomi yang sulit, tak heran bila mereka mau melakukan pekerjaan apa saja termasuk berjualan barang bajakan atau tiruan. Seperti menggelar dagangan tas-tas ‘kw’ di Avenue Champ Ellyese, sebuah tempat perbelanjaan elit di kota mode dunia itu.
Setelah sabar dalam antrian, akhirnya saya bisa masuk dalam museum lewat pintu Piramid Kaca. Pintu Piramid Kaca ini yang menjadi ikon Museum Louvre. Setiap calon pengunjung harus melewati metal detector. Setiap calon pengunjung diperiksa. Pengamanan ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di museum terutama untuk menjaga koleksi yang ada.
Lepas dari metal detector, pengunjung menapaki escalator yang bergerak ke bawah. Di ruang bawah Piramid Kaca inilah, calon pengunjung membeli tiket masuk museum. Tempat pembelian tiket itu dipisahkan antara yang membeli langsung, cash; dengan yang membeli lewat kartu kredit. Untuk membeli tiket langsung pun tidak serta merta dapat, antrian pun terjadi namun tidak sepanjang dan selama antrian di square.
Museum yang berada di Gedung Palais du Louvre (Istana Louvre) itu koleksinya terbagi dalam lukisan, peninggalan Mesir kuno, Yunani, Italia, pahat, dekoratif, ada pula bagian seni Islam. Memasuki bangunan museum ini akan membuat kita takjub, museum ini begitu megah. Bangunan yang beratap tinggi dan lapang ini dibangun pada Abad XII semasa Raja Philip II, Tahun 1180-1223.
Tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah ruang lukisan. Begitu masuk dalam ruangan, pengunjung akan disuguhi ribuan lukisan dengan bingkai yang beraneka rupa, mulai dari setengah meter kali setengah meter hingga sepuluh meter kali sepuluh meter. Banyak koleksi lukisan di museum yang beralamat di Rive Droite Seini, Arondisemen I, ini mengisahkan tentang Marie (Maria, Maryam), Jesus (Isa), dan proses peniupan ruh ke dalam tubuh Maryam (bila ditinjau dari agama Islam).
Di ruangan ini, jumlah lukisan Marie dengan bayi Isa, sangat banyak. Di setiap ruangan dan sudut ada lukisan Marie dan bayi Isa. Banyaknya lukisan yang menggambarkan kisah-kisah Trinitas di museum ini dikarenakan pada masa Raja Louis, dari periode ke periode, ia menyita properti-properti gereja-gereja di Eropa.
Dalam kunjungan ke museum yang luasnya 60.600 meter persegi ini, saya teringat dalam sebuah penggalan kisah Film 99 Cahaya di Langit Eropa. Di mana dalam film itu dikisahkan di museum ada lukisan yang penuh misteri yakni lukisan Ugolino Di Nerio. Dalam lukisan karya pria kelahiran Italia tahun 1280 dengan judul Virgin and Child itu, dalam kerudung Marie terdapat kufic (kaligrafi Arab kuno), ada pula yang menyebut pseudo kufic. Kaligrafi itu menyiratkan secara samar sebuah kalimat yang berbunyi Laa Illaha Ilallaah (tiada Tuhan selain Allah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H