Mohon tunggu...
Ardi Wardana
Ardi Wardana Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa/fre

Aku berpikir maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konstelasi Pilkada Sulsel dan Budaya Feodalisme

23 Juni 2024   23:11 Diperbarui: 23 Juni 2024   23:11 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi oleh AI

Setelah proses pemungutan suara pada Pemilihan Umum 2024 selesai, perhatian kini bergeser ke Pilkada 2024. Banyak tokoh politik yang disebut-sebut akan mencalonkan diri untuk memperebutkan posisi Gubernur, Bupati dan Walikota di Sulawesi Selatan. 

Dinasti politik menjadi topik yang semakin hangat, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung pada bulan November mendatang. 

Spekulasi muncul karena beberapa tokoh terkenal disebut-sebut akan mengajukan kerabat mereka sebagai kandidat, dalam upaya untuk memperkuat garis keturunan dan kekuasaan mereka.

Fenomena politik kekerabatan bukanlah hal yang eksklusif terjadi di Indonesia, tetapi juga terdapat di berbagai negara lain seperti Filipina, Sri Lanka, Thailand, bahkan di negara-negara maju seperti Belgia dan Amerika Serikat. 

Di Indonesia, politik kekerabatan menjadi perhatian serius, yang tercermin dalam larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan fenomena politik kekerabatan di Indonesia bisa bervariasi. Hal ini bisa disebabkan oleh pewarisan ketertarikan politik dari generasi ke generasi dalam keluarga politik tertentu, atau bisa juga karena pragmatisme politik dalam upaya mempertahankan atau memperluas kekuasaan. 

Kandidat dari keluarga politik sering kali dianggap mengandalkan popularitas keluarga mereka daripada kualitas individu, namun hal ini tidak selalu berlaku secara mutlak. Beberapa kandidat dari keluarga politik juga dapat memiliki kualitas yang memadai untuk memimpin.

Setelah dramatisasi Pemilihan Umum 2024 mereda, panorama politik di Sulawesi Selatan mengalami pergeseran signifikan. Komposisi anggota legislatif, yang sebelumnya didominasi oleh partai Golkar, kini mengalami perubahan karena keunggulan yang diraih oleh partai Nasdem sebagai partai pemenang pemilu di Sulsel. Dinamika ini tentu saja berdampak pada peta politik di daerah tersebut menjelang pemilihan kepala daerah serentak.

Selaras dengan gagasan tersebut, dalam penelitian Andi Faisal Bakti (dalam Nordholt dan Klinken 2007) dalam penelitiannya mengenai kekuasaan keluarga di Wajo Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah telah memperkuat pemerintahan otokratis. 

Meskipun penelitian-penelitian tersebut mengkaji elite politik, namun terkait dengan kajian politik kekerabatan. Wasisto Raharjo Djati (2013) yang meneliti familisme dalam demokrasi lokal menunjukkan bahwa familisme dipengaruhi oleh berbagai sumber politik seperti populisme, tribalisme dan feodalisme yang ketiganya membentuk tipologi rezim dinasti politik yang berbeda di Indonesia. 

Menurut Wasisto, karakter dinasti politik di Sulawesi Selatan adalah tribalism dynasties yang terbentuk dari reproduksi ritus-ritus budaya etnis, ikatan primordialisme, klan politik, dan stratifikasi sosial.

Nepotisme dan Budaya Feodalisme

Sulawesi Selatan, yang sebelumnya merupakan wilayah kerajaan Gowa, Tallo, Wajo, dan kerajaan kecil lainnya, telah memberi pengaruh besar terhadap sistem pemerintahan pada masa setelahnya. 

Pada era Belanda, para raja diangkat sebagai kepala daerah (regent) dan berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan birokrasi pemerintahan juga dipengaruhi oleh kehadiran bangsawan dengan gelar andi, karaeng, atau daeng. 

Kecenderungan untuk menduduki jabatan pemerintahan oleh orang dari stratifikasi sosial yang tinggi, sesuai dengan pandangan bahwa strata yang lebih rendah tidak seharusnya memerintah yang lebih tinggi, tercermin dalam norma budaya Sulawesi Selatan. Ini sejalan dengan keberlanjutan sistem kepercayaan dan ritus yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Bugis-Makassar hingga hari ini.

Akar permasalahan tersebut, bisa ditarik kembali ke nilai-nilai feodalisme yang tercermin dalam praktik kekuasaan. Feodalisme merujuk sistem pendelegasian kekuasaan sosial-politik di kalangan bangsawan dan monarki untuk mengendalikan wilayah melalui kerja sama dengan pemimpin lokal sebagai mitra.

Dalam sistem feodal, raja memberikan lahan kepada bangsawan sebagai imbalan atas loyalitas mereka, yang menciptakan hubungan "patron-klien" di mana loyalitas personal menggantikan meritokrasi. Prioritas pada kesetiaan penguasa dapat menghasilkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dengan kekerasan sering digunakan untuk menekan gejolak dan menutupi kegagalan penguasa dalam mengelola pemerintahan.

Kaum elite politik dan bangsawan Sulawesi Selatan saat ini memperkuat posisi mereka dengan pendidikan tinggi dan aktif dalam organisasi sosial untuk meningkatkan status sosial. Politik kekerabatan dipengaruhi oleh pewarisan elite dan sosialisasi politik dalam keluarga. Pragmatisme politik terlihat dari keanggotaan keluarga dalam berbagai partai untuk memperkuat kekuasaan keluarga dalam politik. Keluarga politik sering memegang posisi penting dalam partai dan membentuk hubungan oligarkis, memberikan kesempatan lebih besar bagi anggota keluarga untuk terlibat aktif dan menjadi kandidat yang didukung oleh partai.

Dalam penelitian Titin Purwaningsih (2015), terungkap bahwa kekuatan keluarga politik tercermin dalam penentuan daerah pemilihan, yang cenderung memiliki kesamaan namun tidak identik. 

Dukungan politik seringkali terkait dengan aspek etnis kandidat, memperoleh dukungan dari jaringan partai, organisasi sosial, etnis, dan kekerabatan. Selain sebagai elite struktural, keluarga politik juga berperan sebagai elite kultural dan fungsional, dengan latar belakang dari birokrasi pemerintahan atau pengusaha yang meningkatkan modal politik, ekonomi, dan sosial mereka. 

Jaringan kekerabatan, birokrasi, partai, dan patronase menjadi faktor penting dalam kontestasi pemilu. Menjelang Pilkada 2024, penting bagi pemimpin partai untuk memperkuat komitmen terhadap nilai demokratis, memulai proses suksesi kepemimpinan secara rasional, memberikan kesempatan bagi kader untuk berkembang, dan menjadikan ideologi sebagai pijakan dalam tindakan politik untuk mencegah ketidakstabilan dan ketidakpastian.

Jika merujuk putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 7 huruf r dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota disebut bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Dampaknya, praktik politik kekerabatan masih akan terus ada di Indonesia, yang telah berkembang sejak diberlakukannya Pilkada.

Praktik politik kekerabatan dapat menyebabkan dampak negatif bagi pembangunan daerah, seperti meningkatnya tindak pidana korupsi dan kerusakan tata birokrasi. Mobilisasi birokrasi untuk kepentingan politik kekerabatan juga dapat menurunkan kualitas demokrasi lokal dan menyebabkan persaingan politik yang tidak sehat dalam Pilkada. Selain itu, kegagalan partai politik dalam memunculkan calon pemimpin baru yang tidak terkait dengan politik kekerabatan juga menjadi masalah. Keberadaan kekuasaan yang terpusat dalam kelompok tertentu juga berpotensi menimbulkan penyelewengan kekuasaan.

Kekerabatan dalam Pilkada Sulsel

Di Sulawesi Selatan, beberapa tokoh terkemuka akan ikut bertarung dalam Pilkada serentak 2024, melibatkan anggota keluarga mereka dalam melanjutkan kepemimpinan, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah mantan Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman (ASS), yang diprediksi akan memperkuat posisi keluarga Andi Amran Sulaiman (AAS). Adik dari Amran Sulaiman, Menteri Pertanian di sisa periode pemerintahan Jokowi 2019-2024, ia juga merupakan Anggota ex-officio MWA Unhas sebagai Ketua Ika Unhas 2022-2026 salah satu Universitas ternama di Indonesia yang memiliki alumni dan jaringan yang luas. Selain itu, ASS juga memiliki keponakan dan anak dari Andi Amran Sulaiman, yang terpilih pada pileg 2024 DPR RI Dapil II Sulsel yakni Andi Amar Ma'ruf dan juga sempat ramai diperbincangkan karena digadang-gadang ikut bertarung dalam Pemilihan Bupati Pangkep. Namun, telah dibantah pada pernyataannya Maret lalu. 

Taufan Pawe adalah Walikota Pare-Pare selama dua periode (2013-2018 dan 2019-2024), Ketua DPD I Golkar Sulsel, juga memiliki kesamaan dengan dorongan yang kuat dari internal partai Golkar untuk ikut bertarung pada pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan. Istrinya, Erna Rasyid Taufan, juga memiliki ambisi untuk maju dalam Pemilihan Walikota Parepare. Selain itu, putranya yang menjadi pendatang baru di legislatif DPRD Kota Parepare.

Dalam klan lain, terdapat nama mantan Bupati Sidrap selama dua periode, Rusdi Masse Mappasessu (RMS), yang baru-baru ini terpilih sebagai anggota DPR RI dalam Pemilu Legislatif untuk kedua kalinya bagi dia dan istrinya, Fatmawati Rusdi juga ikut duduk di DPR RI. Fatmawati, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Wali Kota Makassar bersama Danny Pomanto, diduga akan dicalonkan kembali sebagai Wali Kota. Hal ini menimbulkan potensi adu kekuatan atau justru rekonsiliasi dengan klan Danny Pomanto.

Danny Pomanto sebagai Walikota Makassar selama dua periode juga sebagai kader PDI-P dan juga sudah membangun basis kekuatan dengan spanduk/baliho yang telah bersebaran di berbagai daerah dengan tagline "Sulsel 2+ Baik" dan ia juga merupakan Ketua Ika Unhas Wilayah Sulawesi Selatan, ia sendiri disebut-sebut akan mendukung istrinya, Indira Yusuf Ismail, untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Walikota. Selain itu, menantunya, Udin Saputra Malik, juga sebelumnya telah disebut-sebut akan maju dalam Pemilihan Walikota Makassar.

Untuk Klan Nurdin Abdullah (NH) Wakil Ketua DPP Partai Golkar, juga marak menjadi pembicaraan untuk ikut kembali bertarung dalam pemilihan Gubernur Sulsel, telah kalah dari pasangan "Prof Andalang" di Pilgub 2018. Dia mulai mendukung anggota keluarganya untuk maju dalam Pilkada. Putranya, Andi Nurhaldin, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Makassar, disebut-sebut akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Walikota Parepare. Selanjutnya, menantunya, mantan Bupati Sinjai, Andi Seto Asapa, juga dikabarkan akan bertarung dalam Pemilihan Walikota Makassar. Sedangkan adik kandungnya diprediksi akan turut serta dalam Pemilihan Bupati Bone yakni Andi Samsiar Halid dan adiknya Abdul Waris sudah terpilih menjadi senator di DPD RI.

Pada Pilkada di tingkat Kabupaten, pasangan "Duo Amran" sebagai petahana Bupati dan Wakil Bupati Kab. Wajo sudah dipastikan untuk kembali bertarung dalam kontestasi Pilkada Wajo. Amran Mahmud, Bupati Wajo periode 2019-2024 dan Wakil Bupati Wajo periode 2009-2014. Istrinya, Sitti Maryam sudah dilantik dan diambil sumpah sebagai Anggota DPR RI Pengganti Antar Waktu (PAW) dari partai Nasdem. Amran Mahmud sendiri merupakan Ketua DPD PAN Kab. Wajo, pada pemilihan anggota DPRD Wajo dominasi oleh kader PAN. Namun, dilengserkan oleh partai Gerindra sebagai pemenang pileg DPRD Wajo yang sudah dipastikan bakal mengusul Andi Rosman sebagai penantang baru pasangan "Duo Amran". Selain itu, cabup dr. Baso yang menantu Bupati Wajo selama dua periode (2009-2018) juga ikut kembali bertarung setelah kalah dari pasangan "Duo Amran" pada Pilkada 2018

Sementara, di Pilkada Sidrap nama Yusuf Dollah Mando adalah Putra Bupati Sidrap 2018-20123 yakni Dollah Mando sudah menyatakan sikap untuk siap menjadi penerus ayahnya sebagai pemimpin Kab. Sidrap. Sebagai lawannya, Yusuf Dollah Mando berpeluang jadi lawan politisi Nasdem Syaharuddin Alrif yang merupakan peraih suara tertinggi pada pemilihan anggota DPRD Sulsel dan politisi Golkar Zulkifli Zain saat ini Pj. Sekretaris Daerah Kabupaten Sidrap.

Namun menariknya, yang menjadi perhatian masyarakat Sulawesi Selatan adalah klan "Yasin Limpo" dalam dinasti politik di Sulawesi Selatan. Syahrul Yasin Limpo yang kini telah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan politisi senior di Sulsel. Karir politiknya sudah tidak diragukan lagi, ia sempat menjabat posisi strategis dalam pemerintahan sampai dia menduduki Bupati Gowa selama dua periode dan Gubernur Sulsel dua periode hingga masuk dalam kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertanian. Sedangkan, Tenri Olle Yasin Limpo pernah menjabat sebagai anggota DPRD Gowa periode 2004-2009, lalu anggota DPRD Sulsel pada 2009-2014. Ichsan Yasin Limpo pernah menjadi anggota DPRD Sulsel periode 1999-2004 dan juga Bupati Gowa periode 2005-2010 dan 2010-2015. Haris Yasin Limpo pernah menjabat anggota DPRD Kota Makassar pada 2004-2009 dan 2009-2014. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama PDAM Makassar pada 2015-2019 

Kekuasaan mengalir kepada anak Syahrul, Indira Chunda Thita kini menjabat sebagai Anggota DPR RI. Lalu putranya yang bernama Kemal Redindo Syahrul Putra pernah menjabat sebagai Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sulsel. Keponakan Syahrul juga kebagian merasakan kekuasaan, yakni Adnan Purichta Ichsan yang kini menjabat sebagai Bupati Gowa selama dua periode dan juga bakal diisukan juga bertarung pada pemilihan Gubernur 2024. Akankah Adnan Purichta Ichsan akan melanjutkan kekuasaan keluarga "Yasin Limpo".

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun