Menurut Wasisto, karakter dinasti politik di Sulawesi Selatan adalah tribalism dynasties yang terbentuk dari reproduksi ritus-ritus budaya etnis, ikatan primordialisme, klan politik, dan stratifikasi sosial.
Nepotisme dan Budaya Feodalisme
Sulawesi Selatan, yang sebelumnya merupakan wilayah kerajaan Gowa, Tallo, Wajo, dan kerajaan kecil lainnya, telah memberi pengaruh besar terhadap sistem pemerintahan pada masa setelahnya.Â
Pada era Belanda, para raja diangkat sebagai kepala daerah (regent) dan berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan birokrasi pemerintahan juga dipengaruhi oleh kehadiran bangsawan dengan gelar andi, karaeng, atau daeng.Â
Kecenderungan untuk menduduki jabatan pemerintahan oleh orang dari stratifikasi sosial yang tinggi, sesuai dengan pandangan bahwa strata yang lebih rendah tidak seharusnya memerintah yang lebih tinggi, tercermin dalam norma budaya Sulawesi Selatan. Ini sejalan dengan keberlanjutan sistem kepercayaan dan ritus yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Bugis-Makassar hingga hari ini.
Akar permasalahan tersebut, bisa ditarik kembali ke nilai-nilai feodalisme yang tercermin dalam praktik kekuasaan. Feodalisme merujuk sistem pendelegasian kekuasaan sosial-politik di kalangan bangsawan dan monarki untuk mengendalikan wilayah melalui kerja sama dengan pemimpin lokal sebagai mitra.
Dalam sistem feodal, raja memberikan lahan kepada bangsawan sebagai imbalan atas loyalitas mereka, yang menciptakan hubungan "patron-klien" di mana loyalitas personal menggantikan meritokrasi. Prioritas pada kesetiaan penguasa dapat menghasilkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dengan kekerasan sering digunakan untuk menekan gejolak dan menutupi kegagalan penguasa dalam mengelola pemerintahan.
Kaum elite politik dan bangsawan Sulawesi Selatan saat ini memperkuat posisi mereka dengan pendidikan tinggi dan aktif dalam organisasi sosial untuk meningkatkan status sosial. Politik kekerabatan dipengaruhi oleh pewarisan elite dan sosialisasi politik dalam keluarga. Pragmatisme politik terlihat dari keanggotaan keluarga dalam berbagai partai untuk memperkuat kekuasaan keluarga dalam politik. Keluarga politik sering memegang posisi penting dalam partai dan membentuk hubungan oligarkis, memberikan kesempatan lebih besar bagi anggota keluarga untuk terlibat aktif dan menjadi kandidat yang didukung oleh partai.
Dalam penelitian Titin Purwaningsih (2015), terungkap bahwa kekuatan keluarga politik tercermin dalam penentuan daerah pemilihan, yang cenderung memiliki kesamaan namun tidak identik.Â
Dukungan politik seringkali terkait dengan aspek etnis kandidat, memperoleh dukungan dari jaringan partai, organisasi sosial, etnis, dan kekerabatan. Selain sebagai elite struktural, keluarga politik juga berperan sebagai elite kultural dan fungsional, dengan latar belakang dari birokrasi pemerintahan atau pengusaha yang meningkatkan modal politik, ekonomi, dan sosial mereka.Â
Jaringan kekerabatan, birokrasi, partai, dan patronase menjadi faktor penting dalam kontestasi pemilu. Menjelang Pilkada 2024, penting bagi pemimpin partai untuk memperkuat komitmen terhadap nilai demokratis, memulai proses suksesi kepemimpinan secara rasional, memberikan kesempatan bagi kader untuk berkembang, dan menjadikan ideologi sebagai pijakan dalam tindakan politik untuk mencegah ketidakstabilan dan ketidakpastian.