Selama delapan tahun tinggal di Makassar, saya menjadi akrab dengan sejarah nama kota ini. Pada periode dari tahun 1971 hingga 1999, Kota Makassar lebih dikenal dengan sebutan Ujung Pandang. Namun, perlu diperjelas bahwa nama "Makassar" sebenarnya merujuk pada salah satu suku yang mendiami Sulawesi Selatan. Meskipun demikian, mayoritas penduduk Sulawesi Selatan lebih cenderung menggunakan nama Ujung Pandang daripada Makassar ketika merujuk kepada kota tersebut. Sejak abad ke-16, Makassar telah menjadi pusat perdagangan yang dominan di Indonesia timur, serta berkembang menjadi salah satu kota terbesar di wilayah tersebut.
Makassar telah meraih reputasi sebagai salah satu pusat pertumbuhan di Indonesia, bersanding dengan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Pemerintah Kota Makassar menerapkan slogan "Sombere and Smart City" dalam berbagai proyek dan kebijakan untuk menjadikan kota tersebut sebagai kota dunia. Kota Makassar adalah salah satu dari dua kota di Indonesia yang tercatat dalam daftar Kota Pintar Dunia. Informasi ini didasarkan pada data yang dirilis oleh IMD World Competitiveness Center melalui laporan Smart City Index (SCI) tahun 2023.
Dari total 141 kota yang diselidiki, Jakarta menempati peringkat ke-102, sementara Makassar berada di peringkat ke-114. Meskipun demikian, Kota Makassar mendapatkan apresiasi baru dalam beberapa aspek, seperti akses informasi terhadap keputusan pemerintah daerah (pemda), kemampuan mengatur janji temu medis secara online, dan kemudahan penggunaan angkutan umum melalui penjualan tiket dan penjadwalan online.
Meskipun terdapat pencapaian yang membanggakan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Kota Makassar juga memiliki sisi gelap yang seringkali dilupakan, yang akrab disebut sebagai "kota daeng". Pengalaman delapan tahun saya berada di Kota Makassar sejalan dengan realitas yang terjadi di lapangan, menggambarkan bahwa dinamika perkotaan yang semakin meningkat juga memunculkan tantangan dan masalah yang perlu ditangani.
Ketidakteraturan Tata Kota Makassar
Dari ruang kelas yang saya menghadiri mata kuliah Antropologi Pembangun dengan pengajar Prof. Dr. Ansar Arifin, MS, yang merupakan Guru Besar Antropologi di Universitas Hasanuddin. Dengan diskusi-diskusi tentang dinamika perkotaan, saya dapat menyimpulkan bahwa tata kota Kota Makassar tidak terencana dengan baik. Tidak ada cetak biru, rencana atau panduan yang menjadi acuan dalam merancang atau mengatur sesuatu, seperti pembangunan suatu kawasan atau proyek, oleh siapapun yang menjabat sebagai walikota, atau jika ada, tidak dipatuhi dengan baik.
Sebagai contoh masalah pembangunan tata ruang kota adalah wilayah Tamalanrea, yang dulunya dijadikan fokus sebagai kawasan pendidikan, kini mulai beralih fungsi menjadi kawasan ekonomi baru dengan munculnya pusat perbelanjaan dan keramaian lainnya. Hal ini menyebabkan Tamalanrea semakin padat dan menjadi salah satu titik macet terbesar di Kota Makassar.
Reklamasi kawasan Losari juga menjadi contoh lain yang menunjukkan ketidaksempurnaan dalam perencanaan tata kota. Reklamasi ini diprotes karena dianggap akan merugikan banyak warga kecil di sekitar pantai dan merusak ekosistem laut. Reklamasi tidak hanya merubah lingkungan di lokasi yang direklamasi, tetapi juga merampas mata pencaharian dari tempat lain. Proyek reklamasi CPI dianggap mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan, dengan dampak yang signifikan. Salah satu dampaknya adalah abrasi parah di Kabupaten Takalar, di mana pengambilan pasir dari sekitar pantai Galesong untuk proyek reklamasi menyebabkan warga setempat terancam kehilangan tempat tinggal mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan terkait reklamasi harus memperhitungkan dampaknya secara menyeluruh, tidak hanya di lokasi proyek itu sendiri, tetapi juga di wilayah sekitarnya.
Namun, pemerintah kota dan provinsi tampaknya tidak memperdulikan protes tersebut dan tetap melanjutkan reklamasi. Hal ini mengingatkan saya akan ketidakmampuan Makassar untuk belajar dari Jakarta yang sudah mengalami masalah serupa dalam tata kota. Sebaliknya, pemimpinnya justru ingin menjadikan Makassar sebagai "Jakarta kedua," dengan segala macet dan banjirnya.
Padat dan Tak Manusiawi: Perjalanan di Jalanan Makassar