Mohon tunggu...
Ardita Nur Fadila
Ardita Nur Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rencana Kenaikan PPN Menjadi 12%: Antara Pendapatan Negara dan Beban Masyarakat dalam Perspektif Islam

3 Desember 2024   07:05 Diperbarui: 3 Desember 2024   08:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. 

Jika kita menyoroti beberapa tahun terakhir, kebutuhan pendanaan negara semakin meningkat, terutama setelah pandemi covid-19. Jadi kenaikan PPN ini merupakan upaya untuk memperbaiki anggaran pemerintah. Namun, kebijakan ini banyak memicu pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk ekonom, pengusaha, dan masyarakat umum.

Dampak Ekonomi yang Dikhawatirkan

Kenaikan tarif PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang berpotensi memicu inflasi. Barang-barang seperti barang elektronik, pakaian, tanah dan bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan yang diproduksi kemasan, serta kendaraan bermotor diperkirakan akan mengalami penambahan harga akibat kenaikan PPN.

 Selain itu, jasa layanan streaming musik dan film juga menjadi target pengenaan PPN. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN ini diperkirakan menambah beban pengeluaran kelompok masyarakat, di mana kelompok miskin diperkirakan akan mengalami tambahan pengeluaran sekitar Rp 101.880 per bulan, sementara kelompok menengah mengalami kenaikan hingga Rp 354.293 per bulan.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan kebijakan ini dapat meningkatkan inflasi hingga 9%. Dampaknya berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi perekonomian yang sudah tertekan akibat inflasi dan stagnasi pertumbuhan. 

Penurunan daya beli dapat menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga hingga 0,37%, yang setara dengan Rp 40,68 triliun. Hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,07% dan menciptakan siklus negatif yang sulit diputus.

Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, mengungkapkan bahwa melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak signifikan pada perlambatan konsumsi nasional. Hal ini berisiko memicu peningkatan angka pengangguran, karena pelaku usaha kemungkinan besar harus mengurangi produksi akibat menurunnya permintaan pasar.

Penundaan Penerapan Peningkatan PPN

Kebijakan ini memunculkan dilema di tengah masyarakat. Beberapa pihak, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ia mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan ini. Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid, menyatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini belum ideal untuk kenaikan pajak, mengingat lemahnya daya beli masyarakat dan tekanan biaya hidup akibat inflasi.

Di sisi lain, menurut dewan Ekonomi Nasional yang dipegang oleh Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa rencana kenaikan PPN kemungkinan akan ditunda, sebelum kenaikan PPN berlaku, pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi satu hingga dua bulan ke masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah akan memberikan bantalan sosial terlebih dahulu kepada rakyat dalam bentuk subsidi listrik. 

Mengingat bahwa bantuan sosial merupakan satu beban berat Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), maka bansos kini akan dialihkan ke subsidi listrik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak kenaikan pajak terhadap masyarakat rentan. Selain itu, pemberian insentif kepada pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dapat menjadi langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan sektor riil.

Kenaikan PPN ini sebenarnya akan memberikan dampak positif bagi negara kedepannya, apabila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kita coba belajar dari Finlandia yang PPN nya mencapai angka 25,5% dan Finlandia sendiri menduduki posisi kedua dengan tarif PPN tertinggi di dunia. 

Selain itu, tarif pajak penghasilan di Finlandia mencapai angka 56% dan tidak pernah turun di bawah 49% dari tahun 1996, dari data ini Finlandia juga menduduki posisi ke-2 dengan tarif Pajak Penghasilan tertinggi di dunia. 

Meski tarif pajaknya tinggi, Finlandia ini menjadi negara paling bahagia selama 7 tahun berturut-turut, hal ini disebabkan karena semua warga Finlandia itu percaya kepada pemerintahnya, bahwa pajak yang sudah dibayarkannya itu nanti akan kembali lagi kepada mereka dalam bentuk fasilitas baik infrastruktur, pendidikan gratis, kesehatan murah, keamanan, sampai pengembangan ekonomi.

Bagaimana jika hal ini diterapkan di Indonesia? Apakah pajak yang telah disetorkannya akan kembali lagi kepada rakyatnya?

Jika kita melihat data, Indonesia menduduki 7 negara teratas dengan UMR terendah di dunia dan menduduki posisi pertama PPN tertinggi di Asia Tenggara. Pajak naik sebenarnya tidak masalah, namun harus ada imbal balik yang signifikasi dirasakan oleh rakyatnya. 

Jadi, penerapan kebijakan serupa di Indonesia tidak bisa disamakan begitu saja. Dengan tingkat upah minimum yang rendah dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana publik kepada pemerintah yang masih lemah, kenaikan PPN ini seharusnya diimbangi dengan kebijakan yang adil dan transparan dari pemerintah.

Di samping itu, kenaikan PPN juga menimbulkan kekhawatiran mengenai ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, kelompok kaya mungkin tidak merasakan dampak signifikan dari kenaikan pajak, sementara kelompok miskin dan menengah akan menghadapi kesulitan lebih besar dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketidakadilan ini dapat memperburuk jurang antar kelas sosial dan memicu ketegangan dalam masyarakat.

Pandangan Islam terhadap Kebijakan Pajak

Dalam perspektif Islam, kebijakan fiskal harus berlandaskan prinsip keadilan dan maslahat umum (kemaslahatan). Pajak atau dharibah dapat diterima dalam Islam, tetapi hanya sebagai upaya terakhir ketika negara membutuhkan tambahan dana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa ditutupi dari sumber lain.

Menurut Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, pemimpin diperbolehkan menarik pajak dengan syarat tidak memberatkan rakyat dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan publik, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, jika pajak lebih banyak membawa mudarat atau memberatkan kelompok lemah, kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.

Dalam konteks kenaikan PPN, Islam mendorong pemimpin untuk memprioritaskan kelompok rentan. Jika kenaikan pajak ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat miskin dibandingkan yang kaya, hal ini bisa memicu ketimpangan sosial yang bertentangan dengan tujuan syariat, yakni menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah seorang pemimpin yang menipu rakyatnya kecuali ia tidak akan mencium bau surga." (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebijakan fiskal juga harus dilakukan dengan transparansi. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa pajak yang mereka bayarkan akan dikelola dengan amanah dan kembali dalam bentuk layanan publik yang nyata.

Solusi untuk Mengurangi Dampak Kenaikan PPN

Apabila PPN tetap mengalami peningkatan, untuk mengatasi dampak negatifnya, pemerintah perlu meningkatkan transparansi penggunaan pajak yang dikumpulkan serta memastikan bahwa hasilnya benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. 

Pemerintah juga perlu memberikan bantuan sosial seperti subsidi energi, sembako, atau bantuan langsung tunai untuk mengurangi beban masyarakat miskin dan rentan. 

Pemberian insentif kepada pelaku UMKM dapat menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong sektor riil untuk tetap tumbuh meski ada kenaikan pajak. Selain itu, untuk mengurangi dampak kenaikan harga, perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif terhadap inflasi dan kestabilan harga barang pokok.

Di sisi lain, masyarakat juga dapat beradaptasi dengan lebih bijak dalam mengelola pengeluaran anggaran serta mencari sumber pendapatan tambahan yang dapat menjadi langkah untuk mengimbangi dampak kenaikan PPN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun