Mohon tunggu...
Ardi Syam
Ardi Syam Mohon Tunggu... -

Hobby adalah menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Ada Agama yang Toleran Terhadap Agama Lain

25 Agustus 2015   12:34 Diperbarui: 25 Agustus 2015   12:46 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Semua agama secara teologi tidak ada yang mentolerir agama lain. Artinya supaya kita sadar bahwa secara teologis itu tidak ada agama yang toleran terhadap agama lain," tegas Dr. Hamid Fahmy Zarkasi, direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilisation (INSISTS). Sanggahan Gus Hamid ditujukan ke Haidar Bagir, seorang penganut Syi'ah dan pemimpin penerbit Mizan. Dalam diskusi publik dan peluncuran buku “Fikih Kebhinekaan”, menurut Haidar Bagir sekolah yang seharusnya membuat orang terbuka pikirannya, menjadi toleran dan beradab, justru pelajaran-pelajaran seperti agama di sekolah sebagian besar menjadi medium anti toleransi. [1]

Kalau pernyataan Gus Hamid itu betul, bukankah ini akan mengatakan tuduhan Haidar Bagir, dogma seperti ini bisa mendatangkan kekerasan antar umat beragama?

Benar, kekerasan bisa terjadi jikalau agama tersebut tidak memiliki aturan bagaimana berhubungan dengan penganut agama lain. Namun Islam bukan seperti agama lain. Islam merupakan “jalan hidup” atau “deen” dalam bahasa Arab. Dengan demikian Islam memiliki aturan di semua lini kehidupan, termasuk bagaimana berinteraksi dengan non-Muslim. Islam memiliki fiqih yang mengatur hubungan sosial antara Islam dengan kelompok atau agama lain.

Contohnya dalam Islam ada larangan untuk menghina Tuhan-Tuhan agama lain, karena kalau dihina seperti itu, mereka akan membalas dengan hinaan yang lebih kejam. Juga ada larangan untuk menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka. Bahkan sebagai seorang Muslim, apabila ada tetangga non-Muslim yang ditimpa kesusahan, kita wajib membantunya.

"Fikih itu bisa saja ditambahkan dan dalam kehidupan nyata sudah dijalankan, kenapa harus dipersoalkan? Di dalam kehidupan sosial, umat Islam sudah sangat toleran. Jadi kalau sudah toleran kenapa harus menganggap pelajaran agama mengajarkan intoleransi?" tambah Gus Hamid lagi ketika menanggapi pernyataan Haidar Bagir yang mengatakan bahwa pelajaran-pelajaran agama di sekolah itu mengajarkan intoleransi yang mungkin mengarah kepada terorisme.

Kalau seandainya Islam telah memilik fiqh hubungan sosial dengan non-Muslim, kenapa masih ada orang Islam yang melakukan “kekerasan” terhadap non-Muslim?

Islam itu sempurna, tapi umat Islam tidak sempurna. Tidak mungkin mengharapkan 100% umat Islam berprilaku seperti yang ada dalam ajaran Islam. Mesti ada yang menyimpang walaupun sedikit. Namun yang sedikit ini seolah-olah menjadi mayoritas akibat peran media yang sengaja memblow-up yang sedikit ini. Apakah hanya karena tafsiran ekstrim yang sedikit ini, lalu harus dilawan dengan ajaran sekuler seperti merevisi ajaran agama di sekolah-sekolah, bahkan menghapuskannya?

Mengenai hal ini, syaikh Dr. Ali Qara Daghi, sekjen Persatuan Ulama Muslim Sedunia memiliki sebuah persepsi, “Sebenarnya kita menghadapi dua hal yang menjadi masalah, yaitu ekstrimisme kaum agamis, dan ekstrimisme kaum sekularis. Kedua-duanya sama-sama menjadi masalah. Sehingga tidak mungkin menghadapi pemikiran radikal, dengan menggunakan pemikiran liberal.”

Jadi agar Muslim tidak menjadi ekstrim, bukan aqidahnya yang diotak-atik agar mengakui semua agama benar. Yang perlu dilakukan adalah memperdalam fikih berhubungan dengan non-Muslim.

Sebenarnya tujuan Haidar Bagir adalah agar kelompok Syi'ah bebas melaksanakan ajaran agamanya dan menarik sebanyak-banyaknya penganut Sunni menjadi Syi'ah. Haidar bagir menganggap kaum Islam di Indonesia tidak toleran karena menghalangi kaum Syi'ah untuk beribadah dengan bebas. Tuduhan ini adalah tuduhan yang tidak ada alasan. Boleh-boleh saja, kaum Syi'ah beribadah, asalkan tidak menampakkan di depan umum demi menjaga kesensitivitas terhadap golongan Sunni. Ajaran Syi'ah yang mengkafirkan para sahabat dan istri Rasulullah saw bertabrakan dengan prinsip-prinsip golongan Sunni.

Namun hal seperti itulah yang diinginkan kaum Syi'ah. Mereka ingin berdakwah kepada kaum Sunni. Mereka ingin mengkonversi kaum Sunni menjadi Syi'ah. Mereka bisa saja melakukan secara diam-diam. Tapi hasilnya tidak memuaskan. Mareka harus muncul di publik agar propaganda mereka bisa menyebar secara meluas. Mereka berusaha memprovokasi kaum Sunni agar berbuat kekerasan terhadap mereka. Tujuannya adalah supaya kaum Sunni yang mayoritas dianggap kaum yang tidak memiliki toleransi, sehingga banyak kaum Sunni yang awam jatuh simpati dan membela kaum Syi'ah habis-habisan.

Wacana penghapusan mata pelajaran agama dari sekolah-sekolah umum ternyata turut disuarakan oleh Musdah Mulia yang berpahaman liberal. Menurutnya pendidikan agama di sekolah tidak berdampak apapun dalam pengurangan korupsi, bahkan menambah konflik dan menimbulkan sambil mengutip ucapan bekas PM Singapora Lee Kuan Yew. Analisa Musdah Mulia ini sangatlah dangkal dan terlalu menyederhanakan masalah, tidak sesuai dengan gelar profesor yang disandangnya. [2]

Untuk membantah tuduhan itu, ada baiknya kita merujuk kepada pendapat Prof. Dr. Zakiah Darajat, seorang pendidikan dan pernah aktif di MUI sekitar akhir 90-an. Menurut Zakiah Darajat kelemahan pendidikan agama di sekolah adalah tidak mendalam, akibat kekurangan waktu. Pelajar hanya diajarkan gerakan sholat, wudhuk, puasa dan hal-hal pokok lainnya, yang menurutnya tidak mendalam, tidak terhayati, verbalistik. Anak didik tidak tahu apa makna sholat bagi kehidupan mereka. Tahunya cuma gerakan ibadah. Ibadah sebagai pelajaran semata. Akhlak tidak ada, budi pekertipun tidak masuk. Akibatnya mereka menjadi taat ritual. Mereka sholat, puasa, tetapi aplikasi nilai-nilai ibadah itu dalam keseluruhan hidupnya tidak cukup dipahami [3].

Jadi berlainan dengan Musdah Mulia, Zakiah Darajat malah menyarankan agar pendidikan agama diberikan lebih banyak lagi di sekolah-sekolah. Saya setuju dengan saran Zakiah Darajat. Ketika masih dalam masa persekolahanpun, saya merasakan begitu kurangnya pendidikan agama di sekolah, sehingga saya memutuskan untuk mengikuti kelas agama sore di sebuah Madrasah Ibtidayah.

Lalu darimana asal tuduhan yang menyatakan pelajaran agama adalah penyebab konflik antar umat beragama. Kelihatannya Musdah Mulia memiliki pandangan yang sama dengan Haidar Bagir yaitu klaim yang mengatakan bahwa hanya Islam agama yang benar. Kalau Haidar Bagir menyarankan agar pendidikan agama di revisi, Musdah Mulia ingin agar pendidikan agama dikurangi atau dihapus dari sekolah-sekolah. Tujuan utama mereka adalah agar ajaran Syi'ah dan ajaran sesat lainnya makin berkembang di Indonesia. Juga supaya umat Islam Indonesia tidak alergi dengan pemikiran-pemikiran liberal seperti pembolehan pernikahan homoseksual, pernikahan antar agama, pembolehan memilih pemimpin non-Muslim, dsb

Kedua pandangan tokoh Syi'ah dan liberal itu dipatahkan dengan mudah oleh dua tokoh Sunni yaitu Dr. Hamid Fahmy Zarkasi dan Prof. Dr. Zakiah Darajat.

Sumber:

[1] Haidar Bagir Anggap Pelajaran Agama Ajarkan Intoleransi - http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/08/22/76394/haidar-bagir-anggap-pelajaran-agama-ajarkan-intoleransi.html

[2] Pendidikan Agama di Indonesia Dihapus Saja - http://onlineindo.tv/news/politikus-pdip-pendidikan-agama-di-indonesia-dihapus-saja-supaya-bisa-mencontoh-australia-yang-saat-ini-sudah-sangat-sukses-negaranya/

[3] Kenapa Umat Islam Indonesia Korupsi? - http://wiemasen.com/indonesia-korupsi/

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun