Mohon tunggu...
Christophorus Ardi Nugraha
Christophorus Ardi Nugraha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Teknolog Pendidikan

Selalu berusaha membantu seseorang menjadi lebih baik. Menikmati hidup dan mensyukuri keindahan alam.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Tukar KTP Lama Aja Repotnya Minta Ampun!

2 Juli 2015   11:49 Diperbarui: 23 Juni 2021   12:40 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lembar Pengambilan KTP dan KTP Lama

Kemarin pagi saya mendapat pengalaman yang agak menjengkelkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Blitar.

Sebenarnya, agenda pagi itu adalah mengambil KTP elektronik. Saya kira sudah tinggal ambil saja, beres. Ternyata proses yang harus saya lalui lebih panjang daripada yang saya bayangkan.

Saya sudah memasukkan berkas sejak akhir Mei 2015 kemarin. Di lembar pengambilan tertulis 1 Juni. Namun karena saya kuliah di luar kota, saya baru bisa datang kemarin. Saya datang sekitar pukul 9.00 dan mendapat nomor antrian 139.

Ketika sampa giliran saya, ternyata NIK saya belum diaktifkan. Saya harus mengaktifkan dulu. Oke, saya jalan.

Kembali lagi ke loket pengambilan. Saya diberi lembar pengambilan lagi dan disuruh kembali kapan? Coba tebak? Besok September. Alasannya, bahan KTPnya habis. -_-

Padahal, orang di sebelah saya, yang mengurus berkas yang sama, bisa lebih cepat. Cuplikan dialognya yang saya dengar begini.

Petugas            : Oke. Berkasnya sudah lengkap. Coba jenengan cek besok September ya.

Si Mas             : Lho! Katanya bisa langsung jadi hari ini mbak?

Petugas            : Kata siapa?

Si Mas             : Kata Pak Kodok (nama samaran)!

Petugas            : Pak Kodooook!!!! Orangmu ini lho!

Pak Kodok      : Ada apa? (Petugas menunjuk pada Si Mas)

Si Mas             : Berkasnya Pak Jati (nama samaran), Pak. Segera mau dipakai.

Pak Kodok      : (Melihat-lihat isi berkas) Oke. Tunggu sebentar ya. (Berkas lalu diambil alih oleh Pak Kodok).

Oh meeeenn!!!!!! Apa itu tadi barusan?!?!

Gimana ya? Eee.... Aneh gitu rasanya. Rasanya gak cuma saya deh yang punya pengalaman seperti itu. Ya.... kalau seperti ini, tulisan besar di halaman “JANGAN GUNAKAN JASA CALO” jadi gak berarti gitu.

Lha mau gimana lagi? Kalau pakai jalur standar, sudah lama, ruwet pula. Tidak setiap hari juga kan orang punya waktu untuk ngurus berkas kependudukan seperti ini. Apalagi yang kuliah atau bekerja di luar kota. Bagaimana orang gak tertarik pake calo yang punya koneksi “orang dalam”. Sim salabim..... Jadi deh!

Saya jadi bertanya-tanya. Ini salahnya di mana sih? Ini emang prosesnya yang dibikin ruwet? Atau anggaran logistiknya emang terbatas? Atau apa? Adakah yang bisa menjelaskan?

Ada juga dialog yang cukup menarik yang terjadi di loket lain, loket legalisir KTP dan KK.

Petugas            : (memanggil lewat loudspeaker) Legalisir Ibu Tina Toon!

(seorang Mas Mas datang mengambil)

Petugas            : Lima ribu mas.

Mas Mas          : Ada notanya, bu?

Petugas            : (menjawab ketus) Kalo pakai nota gak usah kasih lima ribu mas!

Mas Mas         : (Terdiam. Tapi akhirnya tetap mengeluarkan selembar lima ribuan dari dompetnya yang sudah lusuh)

Wowowowowowo..... Inget bu! Di depan ada tulisan besar juga “TANPA PUNGUTAN.” Kenapa kok gak bikin aja kotak di dekat loket, trus ditulisi “SUMBANGAN SUKARELA.” Kalo ada kotak gitu, gak kontradiksi sama “TANPA PUNGUTAN” di depan. Bener sih cuma lima ribu. Tapi coba hitung aja, paling nggak setiap hari ada 100 orang datang (5.000x100=500.000). Waw! Lima ratus ribu setiap hari! Itu sama dengan uang kos saya sebulan broooo!

Sebagai mahasiswa teknologi pendidikan, saya gregetan banget. Mestinya, sarana publik itu jadi sarana edukasi masyarakat. Tapi, kalo semrawutnya kaya gini, gimana proses edukasinya mau jalan? Lha wong antara anjuran dan praktiknya saja kontradiktif.

Mungkin tidak semua sarana publik seperti ini. Saya pun pernah merasakan pelayanan yang amat memuaskan di kantor publik yang lain, di wilayah lain. Ya.... Tapi paling tidak ini jadi gambaran buat kita semua, kalau hasil revolusi mental masih belum sesuai harapan. Jalan masih jauh terbentang dan perjuangan masih berat. Maih banyak lembaga yang perlu dibenahi ulang. Masih banyak mentalitas dan kebiasaan buruk yang perlu diperbaiki.

Semoga pengalaman ini dapat menggugah kesadaran kita akan pelayanan publik yang lebih baik. Atau paling tidak, tulisan ini dapat sedikit menggelitik para pembaca. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun