Petugas : Lima ribu mas.
Mas Mas : Ada notanya, bu?
Petugas : (menjawab ketus) Kalo pakai nota gak usah kasih lima ribu mas!
Mas Mas : (Terdiam. Tapi akhirnya tetap mengeluarkan selembar lima ribuan dari dompetnya yang sudah lusuh)
Wowowowowowo..... Inget bu! Di depan ada tulisan besar juga “TANPA PUNGUTAN.” Kenapa kok gak bikin aja kotak di dekat loket, trus ditulisi “SUMBANGAN SUKARELA.” Kalo ada kotak gitu, gak kontradiksi sama “TANPA PUNGUTAN” di depan. Bener sih cuma lima ribu. Tapi coba hitung aja, paling nggak setiap hari ada 100 orang datang (5.000x100=500.000). Waw! Lima ratus ribu setiap hari! Itu sama dengan uang kos saya sebulan broooo!
Sebagai mahasiswa teknologi pendidikan, saya gregetan banget. Mestinya, sarana publik itu jadi sarana edukasi masyarakat. Tapi, kalo semrawutnya kaya gini, gimana proses edukasinya mau jalan? Lha wong antara anjuran dan praktiknya saja kontradiktif.
Mungkin tidak semua sarana publik seperti ini. Saya pun pernah merasakan pelayanan yang amat memuaskan di kantor publik yang lain, di wilayah lain. Ya.... Tapi paling tidak ini jadi gambaran buat kita semua, kalau hasil revolusi mental masih belum sesuai harapan. Jalan masih jauh terbentang dan perjuangan masih berat. Maih banyak lembaga yang perlu dibenahi ulang. Masih banyak mentalitas dan kebiasaan buruk yang perlu diperbaiki.
Semoga pengalaman ini dapat menggugah kesadaran kita akan pelayanan publik yang lebih baik. Atau paling tidak, tulisan ini dapat sedikit menggelitik para pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H