“Hari Jumat ini aku akan mengambil cuti untuk mengunjungi kekasih-kekasihku.”
Namaku Niel, aku adalah pegawai di salah satu kantor di kota ku. Aku memiliki lima kekasih saat ini. Walaupun mereka berlima berasal dari kota yang berbeda, mereka saling mengenal satu sama lain. Itu karena mereka tidak keberatan dengan hal tersebut.
Kekasihku yang pertama adalah teman kantorku sendiri. Mungkin karena pekerjaannya sebagai administrator, kata-katanya sangat anggun. Ia juga wangi dan sangat ramah, dan yang paling kusuka adalah tatapan matanya. Sebelum aku pergi mengunjungi kekasihku yang kedua, ia memberikan sebuah surat.
“Surat ini sangat penting karena berisikan isi hati dan kebahagiaanku, jadi jangan sampai hilang ya!” ucapnya dengan mata berbinar.
Lalu aku pun melanjutkan perjalanan menuju kekasihku yang kedua, seorang siswa SMA. Sebenarnya agak sulit bagiku untuk mengikuti kesukaan anak remaja. Jadi kami biasanya pergi ke kafe dengan tema yang imut atau kafe kelinci. walaupun begitu, aku sangat menyukai semangatnya. Entah sudah berapa lama aku tak melihatnya tertawa bebas begini. Sebelum aku pergi, ia menarik tanganku dan menaruh sebuah kertas diatasnya.
“Terima kasih ya untuk hari ini!” saut gadis itu dengan penuh semangat.
Karena hari sudah sore, aku bergegas mengunjungi kekasihku yang ketiga. Ia adalah seorang janda muda yang anaknya baru saja masuk SD. Setiap kami bertemu, ia semakin cantik dan cantik. Ia memang tak sempurna namun kulitnya seakan memancarkan pesona mentari yang sudah lama hatiku yang mendung ini impikan. Sebelum aku pergi, ia juga menitipkan aku sebuah surat yang sangat berharga.
“Titip salamku kepadanya,” bisiknya. Aku menangguk dan segera pulang untuk melanjutkan perjalanan di esok hari.
Hari Sabtu yang cerah, cuaca yang baik bagiku untuk mengunjungi kekasihku yang keempat. Seorang bapak-bapak yang sudah berada di masa pensiun. Sebenarnya aku takut dia akan sulit beradaptasi denganku, karena rasanya aku sedang berkencan dengan ayahku sendiri. Tapi justru sebaliknya, beliau sangat enak diajak berbincang hal-hal yang lebih dewasa dan tahu memberikan solusi dari masalah karena beliau sangat bijaksana. Tapi yang terpenting,
“Deg.. deg.. deg..,” kami menemukan ketenangan satu sama lain.
Tak lupa beliau juga menyisipkan sebuah surat ke poket kecil pada tas yang sedang kubawa.
“Jangan lupa sampaikan ini padanya..”
“Baik,” ucapku lirih.
Akhirnya di hari Sabtu ini aku berkesempatan untuk bertemu kekasihku yang terakhir. Makam dari orang yang selalu kurindukan, yang selalu ku kejar bayangannya. Mantan pacarku, calon istriku.
“Aku membawa surat-surat mereka, aku akan duduk disini dan membacakan surat-surat ini untukmu”
Ya, dia meninggal 4 tahun lalu. Diakhir hayatnya dia berpesan untuk mendonorkan organ-organnya. Wajahnya saat itu.. tak pernah bisa aku lupakan. Bahkan dalam masa kritis hidup dan matinya, ia masih sempat memikirkan kepentingan orang lain dan menjadi cahaya mentari untuk orang lain.
Aku membuka surat pertama, surat dengan selotip berwarna biru di sampulnya. Warna yang mirip seperti seragam kantor kami.
“Sudah 4 tahun lamanya hidupku berubah. Walaupun pekerjaanku tak sehebat banyak orang, tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih padamu. Dengan mata ini.. aku bisa melihat dunia yang lebih indah.”
Setelah itu, langsung terlihat kertas dengan stiker kelinci dan hiasan warna warni di sampingnya.
“Kakak.. bagaima kabar kakak disana? Adek disini baik. Sudah 4 tahun sejak kakak menolong adek. Disaat ayah dan ibu putus asa melihatku berjuang melawan tumor tulang, kakak menolong kami dan memberikan kesempatan kedua untuk adek bisa hidup dan semangat. Dapat kembali tersenyum dengan ayah dan ibu.. adalah anugerah terbesar bagi adek saat itu. Terima kasih kak.”
Segera aku mengambil surat ketiga yang memiliki noda bekas basah seperti terkena tetesan air mata.
“Beberapa tahun yang lalu aku kehilangan suamiku ketika kami terjebak dalam kebakaran. Untunglah saat itu anak kami sedang berada di sekolah, tapi luka yang menyisakan kepedihan keputusasaan dan penyesalan terhadap tragedi tersebut, kukira tidak akan pernah hilang. Namun di masa gelap tersebut kamu datang dan menyelamatkanku yang nyaris tenggelam dalam kesedihan, kamu memberikanku harapan untuk hidup kembali untuk menjadi Ibu dari anakku, terima kasih..”
Tanganku meraih surat terakhir, namun aku tidak sanggup lagi membacanya. Aku tak kuasa lagi menahan sedih. Meski sudah 4 tahun berlalu, tangisku tetap pecah begitu saja. Aku bahkan masih merasakan dia berada di sampingku, merangkul tubuhku dan menghiburku.
“Oh iya, ada lagi yang terakhir. Tapi aku.. maaf.. nggak sanggup membacanya. Ini dari bapak yang mendapat donor jantungmu, katanya berkatmu dia bisa menghadiri pernikahan putrinya. Tapi saat dia memelukku aku mendengar detak jantungmu dan di saat itulah aku merasa kalau kamu masih hidup.”
Untuk menghargai jasanya, aku dan mereka berempat sepakat untuk memberikan surat setiap dua kali dalam setahun. Sekali saat ia berulang tahun dan satu lagi adalah hari saat dia meninggalkan kami. Aku harap surat-surat ini tersampaikan kepadamu di sana, dan tidak hanya surat ini saja. Aku harap kita dapat bertemu lagi di sana..
ilustrasi gambar oleh : El Baara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H