“Jangan lupa sampaikan ini padanya..”
“Baik,” ucapku lirih.
Akhirnya di hari Sabtu ini aku berkesempatan untuk bertemu kekasihku yang terakhir. Makam dari orang yang selalu kurindukan, yang selalu ku kejar bayangannya. Mantan pacarku, calon istriku.
“Aku membawa surat-surat mereka, aku akan duduk disini dan membacakan surat-surat ini untukmu”
Ya, dia meninggal 4 tahun lalu. Diakhir hayatnya dia berpesan untuk mendonorkan organ-organnya. Wajahnya saat itu.. tak pernah bisa aku lupakan. Bahkan dalam masa kritis hidup dan matinya, ia masih sempat memikirkan kepentingan orang lain dan menjadi cahaya mentari untuk orang lain.
Aku membuka surat pertama, surat dengan selotip berwarna biru di sampulnya. Warna yang mirip seperti seragam kantor kami.
“Sudah 4 tahun lamanya hidupku berubah. Walaupun pekerjaanku tak sehebat banyak orang, tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih padamu. Dengan mata ini.. aku bisa melihat dunia yang lebih indah.”
Setelah itu, langsung terlihat kertas dengan stiker kelinci dan hiasan warna warni di sampingnya.
“Kakak.. bagaima kabar kakak disana? Adek disini baik. Sudah 4 tahun sejak kakak menolong adek. Disaat ayah dan ibu putus asa melihatku berjuang melawan tumor tulang, kakak menolong kami dan memberikan kesempatan kedua untuk adek bisa hidup dan semangat. Dapat kembali tersenyum dengan ayah dan ibu.. adalah anugerah terbesar bagi adek saat itu. Terima kasih kak.”
Segera aku mengambil surat ketiga yang memiliki noda bekas basah seperti terkena tetesan air mata.
“Beberapa tahun yang lalu aku kehilangan suamiku ketika kami terjebak dalam kebakaran. Untunglah saat itu anak kami sedang berada di sekolah, tapi luka yang menyisakan kepedihan keputusasaan dan penyesalan terhadap tragedi tersebut, kukira tidak akan pernah hilang. Namun di masa gelap tersebut kamu datang dan menyelamatkanku yang nyaris tenggelam dalam kesedihan, kamu memberikanku harapan untuk hidup kembali untuk menjadi Ibu dari anakku, terima kasih..”