Pasir Kairo adalah sesuatu yang lain. Bukan hanya debu yang menempel di kulit, tetapi juga waktu yang terasa melayang di udara. Kota ini seperti museum terbuka, di mana reruntuhan kuno bersandar pada gedung-gedung modern, dan sejarah terasa seperti denyut nadi di setiap sudut jalan. Di sini aku bertemu Layla.
Aku menemukannya di Khan el-Khalili, bazar tua di tengah kota. Dia sedang menawar sebuah gelang perak pada pedagang, suaranya tegas tapi tidak kasar, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.
"Kau yakin itu layak seharga lima puluh pound?" tanyanya pada pedagang itu.
Pedagang itu mengangkat bahu, dan sebelum dia menjawab, aku menyela. "Mungkin itu layak untuk seseorang yang tahu nilainya."
Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya, aku melihat senyumnya. Senyum yang sederhana, tetapi membawa kehangatan seperti matahari pagi.
Layla adalah kebijaksanaan yang dibungkus dengan misteri. Bersamanya, aku menjelajahi sisi lain Kairo: naik perahu felucca melintasi Nil, menjelajahi lorong-lorong sempit di kota tua, dan mendengarkan cerita-cerita rakyat tentang dewa-dewa Mesir kuno.
"Setiap tempat punya jiwanya sendiri," katanya suatu malam, ketika kami duduk di tepi piramida, memandangi bintang-bintang. "Tapi jiwa itu tidak pernah bisa dimiliki."
Aku mengagumi caranya memandang dunia, seolah dia bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Aku ingin bertanya, apakah dia percaya pada cinta, tetapi aku tahu jawabannya sudah ada di matanya.
"Apa yang kau cari di sini, Richard?" tanyanya sambil menatapku.
Aku tak bisa menjawab. Karena aku sendiri tidak tahu.
---