Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Penyair di Ujung Jalan

25 Oktober 2024   08:02 Diperbarui: 25 Oktober 2024   08:07 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Malam itu hujan turun deras, membasahi setiap sudut kota yang biasanya sibuk oleh lalu-lalang orang yang tak pernah berhenti. Namun kini, jalanan tampak lengang, hanya sesekali ada mobil yang melaju, meninggalkan jejak air di jalanan basah. Di sebuah gang sempit yang diterangi remang cahaya lampu jalan, seorang lelaki tua duduk di sudut bangunan tua. Wajahnya keriput, tubuhnya kurus, dibalut jaket lusuh yang tak cukup menghangatkan. Di tangannya, tergenggam sebuah buku usang yang hampir penuh dengan tulisan-tulisan tangan. Dia adalah Arman, seorang penyair yang dahulu dielu-elukan, namun kini hidup di jalanan, terlupakan oleh dunia.

Dulu, Arman dikenal sebagai penyair besar. Karyanya dibacakan di berbagai panggung, puisinya tertulis dalam buku-buku yang menghiasi toko-toko. Arman adalah bintang di dunia sastra, seorang lelaki dengan kata-kata yang mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Namun, seperti banyak seniman lainnya, ketenaran itu tidak abadi. Seiring berjalannya waktu, nama Arman perlahan memudar. Buku-bukunya tak lagi dicetak ulang, panggilan untuk tampil di acara-acara sastra semakin jarang datang, hingga akhirnya ia benar-benar hilang dari ingatan publik.

Arman tetap menulis, meski tak ada lagi yang membaca karyanya. Menulis adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Ia percaya bahwa kata-kata adalah kekuatan terbesar yang dimilikinya, dan selama ia masih bisa menulis, ia masih memiliki arti. Namun, dunia yang dulu mengelukan puisi-puisinya kini berubah. Orang-orang lebih tertarik pada hal-hal instan, dan karya-karya seni yang dalam tak lagi mendapat tempat.

Kesepian mulai merayapi hidup Arman. Istrinya, yang dulu selalu mendukung setiap langkahnya, telah tiada. Keluarganya tak lagi peduli pada sosok tua yang mereka anggap hanya hidup dalam bayangan masa lalu. Tanpa rumah, tanpa uang, dan tanpa dukungan, Arman akhirnya tersingkir ke jalanan. Di sana, ia hidup seperti bayang-bayang, menyusuri kota, mencari tempat untuk berteduh dari dinginnya malam. Hanya buku catatan dan pena yang menemaninya, menjadi sahabat setia di sisa-sisa hidupnya.

Di setiap sudut kota yang ia singgahi, Arman terus menulis. Setiap kata yang ia tuliskan lahir dari rasa sakit, kesendirian, namun juga kerinduan akan masa lalu yang indah. Terkadang, di tengah malam yang sunyi, ia membaca kembali tulisannya, mengingat masa-masa di mana orang-orang mendengarkan dengan antusias. Tapi kini, tak ada lagi tepuk tangan atau pujian. Hanya ada gemerisik hujan dan suara angin yang mengalir di antara celah-celah bangunan kota.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Arman kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Langit yang kelam dan udara dingin membuat tubuh tuanya bergetar, tapi bukan itu yang membuat hatinya terasa kosong. Yang menyakitkan adalah kesadaran bahwa tak ada yang lagi peduli. Kata-kata yang pernah ia anggap sebagai senjata, kini terasa seperti bisikan yang hilang ditelan keramaian. Di trotoar basah itu, Arman merenung, bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki arti lebih dari sekadar bait-bait puisi yang tertulis dalam buku usangnya.

Namun, di tengah kesunyian itu, datanglah seorang pemuda. Berjaket tebal dengan tudung kepala menutupi wajahnya, pemuda itu berjalan melewati trotoar sempit di mana Arman duduk bersandar. Langkah pemuda itu melambat ketika melihat sosok lelaki tua yang memeluk erat buku lusuh di pangkuannya.

"Pak, apa yang Anda tulis?" tanya pemuda itu dengan suara lirih, nyaris tak terdengar di tengah derasnya hujan.

Arman mendongak perlahan, memandang pemuda itu dengan mata yang sayu namun penuh rasa penasaran. Ia tak menyangka ada yang peduli untuk bertanya tentang apa yang ia tulis. Dengan tangan gemetar, Arman membuka buku usangnya dan menyerahkannya kepada pemuda itu.

"Puisi," jawab Arman singkat, dengan suara parau. "Aku menulis tentang hidup... dan mati."

Pemuda itu menerima buku tersebut dan mulai membaca beberapa bait puisi yang tertulis di sana. Setiap kata yang tertuang di halaman itu membawa pemuda tersebut masuk ke dalam dunia Arman---dunia yang dipenuhi dengan rasa kehilangan, kerinduan, dan keputusasaan, namun juga secercah harapan yang tak pernah benar-benar padam.

"Hidup berjalan di atas goresan takdir,

Di antara mimpi yang tak pernah sampai.

Aku berjalan di atas sunyi yang dalam,

Menunggu pagi yang tak kunjung datang."

Pemuda itu terdiam. Bait-bait puisi Arman menyentuh hatinya. Ia bisa merasakan kesakitan dan kesunyian yang dialami oleh lelaki tua di hadapannya. Meski pemuda itu belum pernah mengalami penderitaan sebesar itu, ia bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup terbuang, terlupakan, dan kehilangan segala yang dulu berharga.

"Ini indah, Pak," ucap pemuda itu setelah beberapa saat. "Tapi kenapa Anda hidup di jalanan? Puisi-puisi Anda layak dibaca oleh banyak orang."

Arman tersenyum tipis, senyum yang dipenuhi kepahitan. "Dulu, mungkin ada yang mau mendengarku. Tapi dunia berubah, Nak. Orang-orang tak lagi peduli pada kata-kata yang sulit. Mereka lebih suka hal yang cepat, yang instan. Puisi? Hanya jadi barang usang."

Pemuda itu menggeleng pelan, tak setuju dengan apa yang dikatakan Arman. "Kata-kata seperti ini tak akan pernah usang, Pak. Mungkin dunia tidak lagi memerhatikan, tapi bukan berarti kata-kata Anda kehilangan maknanya. Puisi-puisi ini masih bisa mengubah hati orang-orang, jika mereka diberi kesempatan untuk membacanya."

Arman terdiam. Kata-kata pemuda itu seolah menyalakan kembali api kecil di hatinya, api yang hampir padam oleh dinginnya kenyataan hidup. Namun, ia sudah terlalu lelah untuk berharap. Terlalu banyak malam yang ia lalui tanpa tujuan, terlalu banyak hari yang ia habiskan dalam kesunyian.

Pemuda itu, yang tersentuh oleh karya Arman, kemudian membuat keputusan. Ia menawarkan Arman tumpangan untuk bermalam di tempat yang lebih hangat, tapi lelaki tua itu menolak dengan lembut. Namun, pemuda itu tak menyerah. Ia meminta izin untuk membawa buku puisi Arman dan memperkenalkan karyanya kepada orang lain.

"Jika saya bisa membantu menyebarkan puisi Anda, mungkin dunia akan mendengarkan lagi," ujar pemuda itu dengan nada penuh harapan.

Arman menatap pemuda itu dalam-dalam. Ada sesuatu dalam tatapan anak muda itu yang membuatnya percaya. Ia pun menyerahkan buku usangnya kepada pemuda tersebut, berharap, meskipun sangat kecil, bahwa mungkin ini adalah caranya untuk meninggalkan jejak di dunia.

Malam berganti pagi, dan hujan akhirnya berhenti. Namun, ketika pemuda itu kembali keesokan harinya, ia menemukan Arman terbaring di sudut jalan. Tubuhnya sudah tak bernyawa, namun wajahnya tampak damai, seolah telah menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Buku puisi yang pernah menjadi bagian dari hidupnya kini berada di tangan pemuda yang berjanji akan membuat karyanya abadi.

---

Seminggu setelah kepergian Arman, sebuah puisi dari buku usangnya diterbitkan di sebuah web sastra yang kemudian viral. Orang-orang mulai mengenal nama Arman kembali, mengenal puisi-puisinya yang penuh makna. Kematian seorang penyair di jalanan itu bukanlah akhir dari hidupnya, melainkan awal dari keabadian karyanya.

Dalam setiap bait yang ia tulis, Arman meninggalkan bagian dari jiwanya yang terus hidup, menyentuh hati orang-orang yang membaca, bahkan setelah tubuhnya tiada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun