Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Senja di Tepian Kenangan

24 Oktober 2024   05:15 Diperbarui: 24 Oktober 2024   07:52 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Senja selalu mengingatkanku pada senyumnya. Bayangan itu terus terpatri di ingatan, seolah menolak pergi, seiring detik yang berlari kian jauh. Setiap kali matahari mulai turun, angin sore berhembus lembut, dan langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan, aku selalu teringat anakku, Hana.

Hana, gadis kecil dengan tawa riang yang menghangatkan dunia kecilku, kini entah berada di mana. Rasanya baru kemarin aku menggenggam tangan mungilnya, mendengarkan celotehannya tentang kucing tetangga atau bunga-bunga di taman. Namun, waktu yang berlalu begitu cepat dan kejadian yang menyesakkan itu terjadi. Ia hilang. Menghilang seperti butiran pasir yang terbawa angin, meninggalkan kekosongan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

Setiap hari, aku menunggu kabar. Berharap ada satu telepon atau surat yang mengabarkan bahwa Hana telah ditemukan. Sudah berbulan-bulan sejak ia hilang, tapi pencarian tak pernah berhenti. Polisi, relawan, bahkan orang-orang yang tidak kukenal ikut membantu, tapi hasilnya tetap nihil.

"Maafkan aku, Hana..." bisikku dalam hati sambil memandang foto lamanya. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Saat itu, aku hanya pergi sebentar ke dapur, meninggalkannya di taman bermain di depan rumah. Hanya beberapa menit, dan ketika aku kembali, Hana tidak lagi ada di sana.

Ketika kabar hilangnya Hana menyebar, tetangga datang, menyatakan simpati dan menawarkan bantuan. Mereka berbicara dengan kata-kata yang seharusnya menenangkan, tapi justru terasa hampa. Mereka tidak tahu betapa menyakitkannya melihat tempat tidurnya kosong setiap malam, betapa perihnya memandang mainan-mainan yang masih berantakan di ruang tamu.

Suamiku, Andi, lebih tegar. Ia tidak menunjukkan air mata di depanku, meskipun aku tahu hatinya hancur sama seperti hatiku. Andi selalu berkata, "Kita akan menemukannya, tenang saja." Tetapi di matanya, aku bisa melihat kesedihan yang mendalam. Aku tahu ia juga menyalahkan dirinya sendiri, meski ia tidak pernah mengatakannya.

Setiap malam, kami berdua sering duduk di tepi ranjang Hana, menggenggam selimut kesayangannya. Kami bercerita seolah Hana masih di sini, di samping kami, tertawa dan bermain. Kadang, ketika malam terlalu sunyi, aku bisa merasakan kehadirannya di rumah ini. Mungkin itu hanya halusinasi, tapi kehadiran itu memberiku sedikit penghiburan.

---

Beberapa minggu setelah hilangnya Hana, seorang detektif datang ke rumah. Namanya Pak Aryo, pria tua dengan rambut mulai memutih, tapi matanya tajam dan penuh pengalaman. Ia berjanji akan melakukan yang terbaik untuk menemukan Hana. Sejak saat itu, ia sering datang untuk memberikan perkembangan, tapi seringkali kabar itu hanya membawaku pada kebuntuan.

"Tidak ada jejak baru, Bu," katanya suatu sore. "Tapi kami tidak akan menyerah. Saya janji, kami akan menemukan Hana."

Namun, waktu terus berjalan, dan harapan yang tadinya besar mulai mengecil. Aku mulai terbiasa dengan sunyi. Aku mulai terbiasa menatap pintu depan tanpa berharap ada Hana yang berlari masuk, memelukku sambil menceritakan hari-harinya di sekolah.

Hari-hari yang lewat penuh dengan kebiasaan baru yang aneh. Aku bangun pagi tanpa harus menyiapkan sarapan untuk Hana. Aku pergi tidur tanpa harus menunggu suaranya mengucapkan selamat malam. Dunia yang dulu penuh warna, kini terasa pudar. Terkadang aku bertanya-tanya, apa Hana juga merasakan hal yang sama? Apakah dia masih ingat rumah ini, ingat aku dan Andi?

---

Sore itu, sekitar tujuh bulan setelah kepergiannya, aku duduk di beranda depan sambil memandang jalanan yang sepi. Andi masih di kantor, bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengalihkan pikiran. Aku tahu ia berusaha tetap sibuk agar rasa kehilangan tidak terlalu terasa. Tetapi aku? Aku hanya bisa menunggu, berharap, dan berdoa.

Ketika aku hampir menyerah, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dari balik jendela, aku melihat Pak Aryo keluar. Langkahnya cepat, wajahnya serius.

"Ada kabar, Bu," katanya setelah duduk di depanku. Hatiku berdegup kencang.

"Apa Hana ditemukan?" tanyaku, suaraku gemetar.

Pak Aryo menggeleng pelan. "Kami masih mencari, tapi ada seorang saksi baru yang melihat seorang anak perempuan mirip Hana di sebuah desa kecil di luar kota. Kami akan memeriksa ke sana. Ada kemungkinan besar itu dia."

Perasaan campur aduk memenuhi hatiku. Aku tidak tahu harus merasa lega atau semakin cemas. Tapi yang pasti, ada harapan baru yang tumbuh. Sekecil apapun harapan itu, aku akan menggenggamnya erat.

---

Seminggu kemudian, kabar itu datang. Hana ditemukan. Bukan dalam kondisi yang kuinginkan, tapi setidaknya dia selamat. Polisi menemukannya di sebuah desa terpencil, ditinggalkan oleh seseorang yang mengaku menemukannya di pinggir jalan. Menurut keterangan polisi, Hana tidak bisa menjelaskan banyak, hanya menangis setiap kali mencoba mengingat apa yang terjadi. Trauma telah membungkus ingatannya dengan kabut yang tebal.

Ketika aku dan Andi tiba di kantor polisi untuk menjemputnya, jantungku berdebar kencang. Aku takut. Aku takut Hana tidak akan mengenaliku, atau lebih buruk lagi, dia tidak mau kembali. Tapi ketika dia melihatku, dia langsung berlari ke pelukanku, menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Mama," katanya sambil terisak. Kata-katanya membuatku hancur, karena seharusnya aku yang meminta maaf.

Aku memeluknya erat, seakan tidak ingin melepaskannya lagi. Andi juga datang dan memeluk kami berdua. Kami akhirnya bersama lagi.

---

Senja kembali menyapa, seperti setiap hari. Tapi kali ini, senja tidak lagi menyakitkan. Karena Hana telah kembali. Hilangnya Hana meninggalkan luka yang mendalam, tapi kehadirannya kembali memberikan kesempatan untuk sembuh. Aku tahu, perjalanan kami belum selesai. Luka di hati Hana tidak akan sembuh secepat itu. Tapi kami akan melewati semuanya bersama. Setidaknya, kini kami punya kesempatan kedua untuk menciptakan kembali kebahagiaan yang hilang.

Dan ketika senja berikutnya datang, aku akan memandang langit jingga itu dengan perasaan berbeda. Tidak lagi dengan kerinduan yang menyiksa, tapi dengan rasa syukur bahwa Hana, meski sempat hilang, akhirnya kembali ke pelukan kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun