Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Senja di Tepian Kenangan

24 Oktober 2024   05:15 Diperbarui: 24 Oktober 2024   07:52 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari yang lewat penuh dengan kebiasaan baru yang aneh. Aku bangun pagi tanpa harus menyiapkan sarapan untuk Hana. Aku pergi tidur tanpa harus menunggu suaranya mengucapkan selamat malam. Dunia yang dulu penuh warna, kini terasa pudar. Terkadang aku bertanya-tanya, apa Hana juga merasakan hal yang sama? Apakah dia masih ingat rumah ini, ingat aku dan Andi?

---

Sore itu, sekitar tujuh bulan setelah kepergiannya, aku duduk di beranda depan sambil memandang jalanan yang sepi. Andi masih di kantor, bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengalihkan pikiran. Aku tahu ia berusaha tetap sibuk agar rasa kehilangan tidak terlalu terasa. Tetapi aku? Aku hanya bisa menunggu, berharap, dan berdoa.

Ketika aku hampir menyerah, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dari balik jendela, aku melihat Pak Aryo keluar. Langkahnya cepat, wajahnya serius.

"Ada kabar, Bu," katanya setelah duduk di depanku. Hatiku berdegup kencang.

"Apa Hana ditemukan?" tanyaku, suaraku gemetar.

Pak Aryo menggeleng pelan. "Kami masih mencari, tapi ada seorang saksi baru yang melihat seorang anak perempuan mirip Hana di sebuah desa kecil di luar kota. Kami akan memeriksa ke sana. Ada kemungkinan besar itu dia."

Perasaan campur aduk memenuhi hatiku. Aku tidak tahu harus merasa lega atau semakin cemas. Tapi yang pasti, ada harapan baru yang tumbuh. Sekecil apapun harapan itu, aku akan menggenggamnya erat.

---

Seminggu kemudian, kabar itu datang. Hana ditemukan. Bukan dalam kondisi yang kuinginkan, tapi setidaknya dia selamat. Polisi menemukannya di sebuah desa terpencil, ditinggalkan oleh seseorang yang mengaku menemukannya di pinggir jalan. Menurut keterangan polisi, Hana tidak bisa menjelaskan banyak, hanya menangis setiap kali mencoba mengingat apa yang terjadi. Trauma telah membungkus ingatannya dengan kabut yang tebal.

Ketika aku dan Andi tiba di kantor polisi untuk menjemputnya, jantungku berdebar kencang. Aku takut. Aku takut Hana tidak akan mengenaliku, atau lebih buruk lagi, dia tidak mau kembali. Tapi ketika dia melihatku, dia langsung berlari ke pelukanku, menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Mama," katanya sambil terisak. Kata-katanya membuatku hancur, karena seharusnya aku yang meminta maaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun