Kata-katanya bagaikan pisau yang menusuk hatiku, menusuk rasa cinta yang kian rapuh. Aku merasakan kekecewaan yang mendalam, menyadari bahwa Arya tak mampu memberikan apa yang aku inginkan.
Hatiku berbisik, "Cinta dan sains tak dapat bersatu dalam hubungan ini."
Air mata mengalir di pipiku, membasahi pipi yang telah kering karena kesepian. Dengan tegar, aku berkata, "Arya, aku ingin kita berpisah. Aku ingin bersama seseorang yang bisa memprioritaskan cinta dan kebersamaan."
Keheningan melanda ruangan, bagaikan pemakaman bagi cinta yang telah mati. Arya menatapku dengan mata berkaca-kaca, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia mencoba membujukku untuk berubah pikiran, tapi aku sudah bulat tekad.
Aku tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat untukku, meskipun hatiku terasa terbelah dua. Aku harus melepaskan Arya dan cintanya, demi kebahagiaanku sendiri.
Di malam perpisahan itu, aku termenung di balkon apartemen, menatap langit yang penuh dengan bintang. Aku tak tahu apa yang menantiku di masa depan, namun aku yakin bahwa aku telah membuat pilihan yang terbaik.
Dilema cinta dan sains telah mengantarku pada perpisahan yang pahit, namun membuka pintu menuju kebahagiaan yang baru.
***
Beberapa tahun setelah perpisahan yang pahit dengan Arya, aku menemukan kebahagiaan baru bersama Rian, seorang seniman yang penuh kasih sayang dan perhatian. Rian bagaikan mentari pagi yang menghangatkan hatiku yang membeku, membawa keceriaan dan cinta yang tulus.
Meskipun bahagia dengan Rian, bayang-bayang Arya masih membayangi hatiku. Aku tak pernah melupakan cintanya, meskipun aku tahu bahwa kami tak ditakdirkan untuk bersama.
Suatu hari, aku menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar ilmiah. Di sana, aku bertemu kembali dengan Arya. Dia telah menjadi ilmuwan terkenal dengan penemuannya yang revolusioner. Namun, di balik kesuksesannya, aku melihat kesedihan di matanya.