Hanya saja, kisah ini bisa diartikan sebaliknya. Harapan besar dan perjuangan Kino yang disandarkan pada mutiara "terkutuk" itu merepresentasikan kesadaran untuk berubah dan melawan, yang melebihi kepentingan egoistik.
Seperti kalimat penutup Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia-nya Pram (yang mengakui jika Steinbeck adalah gurunya dalam menulis), kisah ini walau ditamatkan dengan kehilangan dan duka yang dalam, setidaknya Kino sudah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!