Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arogansi Siswi SMA dan “Kejamnya” Publik Maya

7 April 2016   23:02 Diperbarui: 8 April 2016   09:39 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pesakitan yang telah menjadi target sasaran tembak kemarahan publik maya tidak akan bisa lepas dan mesti menguatkan diri dicabik habis-habisan—walau kesalahan yang dibuatnya mungkin hanyalah hal biasa yang pernah terjadi berulang-ulang.

Mentalitas orang-orang yang bisa melewati semua ini tanpa harus mengalami kemunduran psikologis, gangguan jiwa atau bahkan kematian mungkin akan menjadi sangat kuat dan tahan banting setelahnya. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak?

Jujur saja, saya tersentak kaget ketika mendapati berita kematian Ayah (kandung) SES hanya beberapa saat setelah anaknya jadi objek pemberitaan nasional. Ini seperti sebuah film tragedi. Terlalu tragis untuk jadi nyata. Entah apa yang terjadi dengan Ayah SES, namun pasti akan mudah saja menarik asumsi jika kematiannya ini berhubungan langsung dengan sensasi yang diciptakan dari tindakan anaknya yang menyebar jadi isu nasional.

Apalagi, salah satu portal berita sempat menyebut jika Ayah SES langsung jatuh sakit ketika nama anaknya diberitakan berulang kali karena mencatut nama jendral untuk digunakan mengancam petugas kepolisian. Jika benar sakit yang diderita dan kematian yang kemudian menyusul Ayah SES adalah akibat bullying yang bertubi-tubi diterima anaknya, maka bisa dikatakan, netizen dan media massa ikut serta bertanggungjawab untuk itu.

Tidak ada yang tahu sampai kapan gelombang pemberitaan mengenai pencatutan nama jendral yang dilakukan oleh anak SMA ini akan berlanjut. Bisa jadi hanya sekadar riak sebentar, bisa juga bertahan hingga seminggu-dua minggu jika masih ada drama sisa yang ditambahkan. Namun bisa dipastikan, luka psikis yang diderita SES akan membekas lama, mungkin malah jadi permanen. Apalagi, karena ulah arogannya yang "biasa-biasa saja", ada dampak yang terhitung luar biasa yang mesti ia tanggung seumur hidup dengan kematian Ayahnya yang asli.

Namun kesimpulan yang bisa diambil, SES nampaknya hanya sedang benar-benar kurang beruntung karena arogansinya mencatut nama penguasa untuk lepas dari masalah hukum kebetulan saja tertangkap oleh kamera. Seandainya tidak seperti itu, bisa jadi ini akan menjadi peristiwa jalanan biasa seperti yang sebelumnya sudah terjadi dan terlupakan untuk kemudian terulang lagi.

Publik juga nampaknya bereaksi secara brutal, seakan-akan menjadikan sosok SES sebagai sasaran tunggal, sebagai pelampiasan, terhadap mereka yang pernah menjadikan kedekatannya terhadap orang berkuasa untuk mengancam dan lepas dari jeratan hukum, namun tidak berhasil terdokumentasi. Dan momen yang menjadikan SES sebagai pesakitan pun kemudian mudah saja menjadi objek empuk caci maki warna-warni publik yang memendam jengah dan benci.

Ah, dunia maya memang bisa menjadi lokasi paling tepat untuk menjerakan seorang yang nekat menabrak norma, namun di saat yang sama, bisa jadi tempat yang kejam dan sangat mematikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun