[caption caption="Ilustrasi public bullying (Sumber: presencia.digital.com)"][/caption]Mencari pihak yang pantas disalahkan atas sebuah kejadian buruk adalah bagian yang mustahil terpisah dalam praktik beropini, termasuk saat proses beraspirasi di dunia cyber. Alih-alih solusi, reaksi awal publik maya nampaknya sering lebih dulu ditujukan untuk mencari siapa yang paling layak dituduh sebagai penyebab terjadinya sebuah tragedi.
Seperti api yang diguyur bensin, geliat untuk mencari sasaran caci itu kembali terbangun dengan riuh ketika seorang gadis muda berwajah rupawan dengan garang mengacungkan jari telunjuknya ke wajah seorang polisi wanita sambil memberi ancaman akan menurunkan pangkat sang Polwan karena menghentikan mobil yang ia tumpangi bersama rekan sekolahnya selepas Ujian Nasional usai.
“Aku anak Arman Depari,” bentak gadis itu menyebut nama seorang petinggi BNN berpangkat jendral, yang belakangan mengaku tak punya anak perempuan.
Video amatir yang kebetulan direkam dengan sudut yang tepat—rupa pemeran utama tersorot dengan jelas—sontak menjadi viral di media sosial. Komentar netizen pun otomatis merambat layaknya keping domino yang jatuh beriringan.
Sebuah kejadian kecil di jalanan, yang tentunya bisa dianggap terlalu remeh dibandingkan lakalantas atau begal tewas dihajar massa, ternyata mendapat respon yang maha luas dari masyarakat dan media.
Saya katakan “kejadian kecil”, karena di Indonesia, bukanlah hal yang luar biasa jika seseorang langsung menganggarkan “backing” dari oknum berjabatan tinggi ketika terjepit sebuah masalah. Perilaku seperti itu memang tergolong miris, tapi akan jadi lebay jika menanggapinya terlalu berlebihan. Ini bukan kejadian pertama dan bisa dipastikan tidak akan menjadi yang terakhir.
Namun yang menjadikan peristiwa kali ini berbeda dan gampang menarik atensi publik dan media, ada pada tiga faktor; pelakunya gadis muda aduhai, keberanian anak kencur menantang petugas berseragam, dan yang terutama, semua itu berhasil direkam. Publik sudah biasa menjadikan sesuatu berembel-embel “cantik” sebagai hal yang menarik untuk dibahas berlarut-larut. Tukang jamu cantik, penjual bubur cantik, Satpol-PP cantik, dan kali ini, anak SMA arogan yang cantik. Selain itu, mudanya usia seseorang ketika melakukan hal yang “luar biasa” juga bisa menjadi faktor utama laris manisnya sebuah peristiwa dijadikan sasaran pembentuk opini. Sialnya, SES—inisial gadis yang video bentakannya ke polwan jadi booming—memenuhi semua kriteria itu, “cantik” dan “muda”, untuk kejadian yang sangat tidak terpuji. Rekaman yang menyorot aksi arogannya makin melenyapkan gempita siswi SMA yang padahal sedang merayakan usainya ujian sekolah yang konon paling ditakuti se-Indonesia.
Sontak, netizen yang “bersembunyi” di balik kemayaan dan jumlahnya yang menyemut, 'menghajar' anak yang terdaftar di salah satu sekolah swasta ternama di kota Medan itu dengan bermacam tudingan. Mulai dari nasihat baik-baik, hingga serangan verbal yang bisa dianggap cukup keterlaluan.
Satu atau dua sindiran rekan sebaya di dunia nyata saja bisa menjadi beban pikiran yang ‘menyiksa’ seorang yang masih belia, apalagi jika jumlahnya mencapai ratusan ribu (bahkan mungkin berjuta-juta) kecaman di belantara liar dunia maya, plus disiarkan pula oleh berbagai macam media massa ke seluruh pelosok nusantara!
Mencoba memakai sudut pandang yang sama, rasanya wajar saja ketika sering terdengar kabar seorang remaja belia, yang secara emosional masih labil dan mudah goyah, memilih mengakhiri hidup ketika dirinya berlarut menjadi sasaran bullying.
Saat dikabarkan SES mengalami depresi dan tidak berani keluar dari kamarnya—sebuah hukuman yang rasanya sudah lebih dari cukup untuk tindakan arogannya—lantas apakah publik akan merasa cukup? Rasanya tidak. Inilah kejamnya hukuman sosial, apalagi jika ruang lingkupnya sudah kelewat luas seperti era digital kekinian. Dunia sosial virtual yang disesaki ragam karakter manusia yang tak semuanya bisa bijak dalam membubuhi kritik.
Seorang pesakitan yang telah menjadi target sasaran tembak kemarahan publik maya tidak akan bisa lepas dan mesti menguatkan diri dicabik habis-habisan—walau kesalahan yang dibuatnya mungkin hanyalah hal biasa yang pernah terjadi berulang-ulang.
Mentalitas orang-orang yang bisa melewati semua ini tanpa harus mengalami kemunduran psikologis, gangguan jiwa atau bahkan kematian mungkin akan menjadi sangat kuat dan tahan banting setelahnya. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak?
Jujur saja, saya tersentak kaget ketika mendapati berita kematian Ayah (kandung) SES hanya beberapa saat setelah anaknya jadi objek pemberitaan nasional. Ini seperti sebuah film tragedi. Terlalu tragis untuk jadi nyata. Entah apa yang terjadi dengan Ayah SES, namun pasti akan mudah saja menarik asumsi jika kematiannya ini berhubungan langsung dengan sensasi yang diciptakan dari tindakan anaknya yang menyebar jadi isu nasional.
Apalagi, salah satu portal berita sempat menyebut jika Ayah SES langsung jatuh sakit ketika nama anaknya diberitakan berulang kali karena mencatut nama jendral untuk digunakan mengancam petugas kepolisian. Jika benar sakit yang diderita dan kematian yang kemudian menyusul Ayah SES adalah akibat bullying yang bertubi-tubi diterima anaknya, maka bisa dikatakan, netizen dan media massa ikut serta bertanggungjawab untuk itu.
Tidak ada yang tahu sampai kapan gelombang pemberitaan mengenai pencatutan nama jendral yang dilakukan oleh anak SMA ini akan berlanjut. Bisa jadi hanya sekadar riak sebentar, bisa juga bertahan hingga seminggu-dua minggu jika masih ada drama sisa yang ditambahkan. Namun bisa dipastikan, luka psikis yang diderita SES akan membekas lama, mungkin malah jadi permanen. Apalagi, karena ulah arogannya yang "biasa-biasa saja", ada dampak yang terhitung luar biasa yang mesti ia tanggung seumur hidup dengan kematian Ayahnya yang asli.
Namun kesimpulan yang bisa diambil, SES nampaknya hanya sedang benar-benar kurang beruntung karena arogansinya mencatut nama penguasa untuk lepas dari masalah hukum kebetulan saja tertangkap oleh kamera. Seandainya tidak seperti itu, bisa jadi ini akan menjadi peristiwa jalanan biasa seperti yang sebelumnya sudah terjadi dan terlupakan untuk kemudian terulang lagi.
Publik juga nampaknya bereaksi secara brutal, seakan-akan menjadikan sosok SES sebagai sasaran tunggal, sebagai pelampiasan, terhadap mereka yang pernah menjadikan kedekatannya terhadap orang berkuasa untuk mengancam dan lepas dari jeratan hukum, namun tidak berhasil terdokumentasi. Dan momen yang menjadikan SES sebagai pesakitan pun kemudian mudah saja menjadi objek empuk caci maki warna-warni publik yang memendam jengah dan benci.
Ah, dunia maya memang bisa menjadi lokasi paling tepat untuk menjerakan seorang yang nekat menabrak norma, namun di saat yang sama, bisa jadi tempat yang kejam dan sangat mematikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H