Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membakar Buku-buku di Fahrenheit 451

2 Maret 2016   16:48 Diperbarui: 2 Maret 2016   17:36 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Yang membuat sebuah karya layak dilabeli sebagai “legenda” adalah relevansi isinya yang bertahan hidup dari waktu ke waktu. Sebuah karya yang tetap bisa lantang berkata, “nah, lihat kan? Kubilang juga apa,” ketika dihadapkan pada realitas sosial aktual, terutama jika menyangkut kegundahan moral atau saat “yang batil” sulit dibedakan dari “yang bijak” karena keduanya sama-sama berdiri pada argumen yang mudah menarik banyak pengikut.

Ray Bradbury, pada satu titik, berhasil mencapai tahapan tersebut lewat novel Fahrenheit 451. Novel yang ditulisnya pada tahun 1950 ini sudah meraih penghargaan prestisius dan jadi salah satu bacaan utama generasi muda Paman Sam. Novel ini sudah berumur lebih dari setengah abad, namun ramalan distopiannya—yang disebut sebagian pihak lebih hebat dibanding ‘1984’ milik Orwell—masih layak dianggap aktual; pernah, sedang dan bisa saja akan terbukti lagi.

Sejarah bersembuyi di balik kata dan kalimat. Tentu akan menjadi sebuah kajian panjang lebar nan kompleks (yang jelas di luar kemampuan saya yang terbatas) jika menghubungkan realitas sosial yang berlangsung saat itu yang mungkin menjadi alasan Bradbury melahirkan sebuah novel (yang awalnya tak begitu laku) di ruang bawah tanah perpustakaan Universitas Carolina, Los Angeles.

Namun sebagai pembaca awam, ada kegelisahan yang berkelindan ketika pelan-pelan membalik halaman novel ini.

[caption caption="Cover novel Fahrenheit 451 (sumber: https://kammbia1.wordpress.com)"][/caption]

Kematian Buku-buku

Fahrenheit 451, yang awalnya dijuduli “The Fireman”, berisi tentang prognosis masa depan intelektual Amerika Serikat ketika buku sudah menjadi benda terlarang. Menyimpan buku—apalagi membacanya—adalah sebuah kejahatan serius. Pelakunya akan dihadapkan pada ganjaran hukum. Tapi lebih dari itu, hal yang paling buruk adalah ketika hampir seluruh buku yang ada diubah menjadi abu. Sebuah lembaga Pemadam Kebakaran yang dijuluki “Fahrenheit  451” (ukuran suhu di mana buku akan langsung terbakar habis) ditugaskan untuk mengawasi dan mengeksekusi setiap karya tulis yang masih eksis. Dengan peralatan sangar yang dinamai “Salamander”, petugas Pemadam Kebakaran akan dengan mudah melenyapkan kertas-kertas ringkih yang berisi pemikiran manusia sepanjang zaman itu.

Montag, tokoh utama novel ini, mengaku begitu menikmati jeritan senyap buku-buku ketika ia memusnahkannya satu per satu. Layaknya merpati yang mengepak-ngepakkan sayap sekaratnya, lalu tergeletak mati perlahan di atas tanah.

Sepertinya, petugas pemadam kebakaran yang telah mengabdi selama 8 tahun itu akan tetap menikmati hari-harinya sebagai pembantai buku, hingga pada satu waktu, seorang gadis bernama Clarisse muncul secara misterius dan mengubah sisa nasib Guy Montag.

Gadis yang mengaku berumur 17 tahun dan "kurang waras" itu, dengan caranya yang aneh, diam-diam membuka topeng yang merekat kuat di wajah Montag, menyentak Montag dengan pemikiran yang jauh di dalam hatinya ia akui adalah kebenaran yang sesungguhnya.

Montag semakin meragu dengan semua kepercayaan yang sempat membatu dalam benaknya ketika ia menjadi saksi saat seorang wanita rela mati terbakar bersama buku-bukunya. Apa lagi Istrinya, Mildred, ia sadari tak lebih dari orang asing yang membingungkan, penggila sinetron yang bahkan tak mengingat kapan pertama kali mereka pertemu dan jatuh cinta. Ia mulai mempertanyakan “apakah hidupku bahagia?”. Keidealan hidup yang menjadi rutinitasnya selama puluhan tahun langsung goyah hanya dalam waktu singkat.

Sampai akhirnya, lewat keberanian dari kesadaran baru yang ia dapat, Montag kemudian berbalik memberontak dan berusaha menebus dosanya pada buku-buku.

Indonesia di balik Fahrenheit 451

Bisa kita temukan sebuah keironisan dalam fantasi Bradbury. Pemadam kebakaran yang nyatanya adalah musuh para api diubah menjadi nyala api itu sendiri, yang siap memusnahkan kristalisasi peradaban manusia yang terabadikan dalam lembaran buku. Bradury mengatakan jika novel ini menjadi sebuah karya satire bagi praktik pembatasan kebebasan berpendapat yang banyak ditemui lewat sensor dan pembredelan karya tulis. Tentu saja orang Indonesia akan mudah menemukan kefamiliaran antara tema yang dibawa Fahrenheit 451 dengan dunia intelektual negara ini terutama saat rezim orde baru masih berjaya dulu. Kini pun, walau kekang pemerintah terhadap gerak pemikiran manusia Indonesia sudah melonggar, namun tetap saja bisa ditemukan alasan-alasan semacam keyakinan agama dan perbedaan ideologi yang begitu menor digunakan untuk membubarkan paksa aktifitas intelektual.

Bukan cuma praktik pembrangusan kebebasan intelektual saja, lewat novelnya ini, Bradbury juga menyoroti pihak media massa yang melacurkan diri dengan menjajakan konten sampah ke tengah publik.

Setelah buku menjadi benda yang haram dikonsumsi, muncul pula obsesi berlebih terhadap opera sabun di televisi (yang sering kali disebut sebagai “dinding” dalam novel ini). Bradbury mengambarkan bagaimana efek menyeramkan ketiadaan distribusi pengetahuan dan asupan sampah berlebih dari televisi mampu mengubah peradaban menuju kejatuhan yang telak.

Kembali, tidak ada yang aneh dengan hal itu di mata kita. Tidak ada satu hari pun dalam seminggu manusia Indonesia puasa mengunyah sinema elektronik picis; entah yang produksi lokal sampai yang repot-repot jauh didatangkan dari luar negeri. Hal-hal seperti ini sudah menjadi prognosis Bradbury 66 tahun lalu, yang ia nubuatkan sebagai “cara terbaik untuk mematikan pikiran”.

Perpustakaan semakin sunyi, buku-buku bagus dihargai kurang ajar, terlupakan, gagal naik cetak, karena kualitas isi tak selalu berkorelasi dengan jumlah pembeli, dan di saat yang sama, jam tayang prime time begitu dinanti jutaan pemirsa demi melanjutkan kisah cinta remaja yang terlihat terburu-buru dewasa, pertikaian antara suami penyabar, istri yang tertindas, menantu dan paman yang licik, dan, yah, lain sebagainya.

Ada satu bagian menarik dalam novel ini saat Guy Montag menjadi buronan. Mengandalkan Robot Pemburu yang selalu menjalankan tugas sempurna sebagai mesin pelacak mematikan, seisi kota berusaha mengejar Montag yang kelimpungan menyembunyikan diri dari jerat kematian. Ketika akhirnya Montag berhasil lolos, polisi dan media massa yang bekerja sama dalam pengejaran ini terlanjur malu hingga akhirnya melakukan manipulasi keji demi  mengenyangkan ekspektasi publik yang lapar akan drama sensasional. Lagi-lagi, kita sebagai masyarakat Indonesia, sudah akrab dengan praktik tak etis seperti itu. Media sering kali hanya menjadi corong kepentingan yang bisa dimanipulasi demi mengoles citra diri orang-orang berkuasa, mengubahnya menjadi sosok idola, menutupi borok yang hanya bisa diendus oleh segelintir manusia saja.

Yang Terpenting Bukanlah Buku

Buku ini sudah mengalami banyak interpretasi. Seorang anggota dalam forum diskusi mengganggap jika Bradbury bahkan sempat mengubah pemaknaan pribadi di balik tulisannya sendiri! Tetapi satu hal yang bisa disaripatikan dari novel ini: walau bercerita soal pemusnahan buku, pembahasan utama “Fahrenheit 451” bukanlah soal buku. Saya menjadikan ucapan Faber, seorang profesor tua yang jadi sahabat dalam pelarian Montag, sebagai penutup yang pas untuk tulisan ini,

“Bukan buku yang kau butuhkan, tapi sesuatu yang pernah ada di dalam buku.

Tidak, tidak, bukan buku yang kau cari.! Temukan hal itu di tempat kau dapat menemukannya, dalam piringan hitam tua, film-film tua, pada teman-teman lama; carilah itu di alam dan di dalam dirimu. Buku hanyalah salah satu wadah tempat kita menyimpan banyak hal yang takut kita lupakan. Tidak ada hal yang ajaib di dalamnya sama sekali. Keajaiban itu terletak hanya pada apa yang dikatakan dalam buku, bagaimana mereka menjahit tambalan alam semesta menjadi sebuah pakaian untuk kita.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun