Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membakar Buku-buku di Fahrenheit 451

2 Maret 2016   16:48 Diperbarui: 2 Maret 2016   17:36 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Montag semakin meragu dengan semua kepercayaan yang sempat membatu dalam benaknya ketika ia menjadi saksi saat seorang wanita rela mati terbakar bersama buku-bukunya. Apa lagi Istrinya, Mildred, ia sadari tak lebih dari orang asing yang membingungkan, penggila sinetron yang bahkan tak mengingat kapan pertama kali mereka pertemu dan jatuh cinta. Ia mulai mempertanyakan “apakah hidupku bahagia?”. Keidealan hidup yang menjadi rutinitasnya selama puluhan tahun langsung goyah hanya dalam waktu singkat.

Sampai akhirnya, lewat keberanian dari kesadaran baru yang ia dapat, Montag kemudian berbalik memberontak dan berusaha menebus dosanya pada buku-buku.

Indonesia di balik Fahrenheit 451

Bisa kita temukan sebuah keironisan dalam fantasi Bradbury. Pemadam kebakaran yang nyatanya adalah musuh para api diubah menjadi nyala api itu sendiri, yang siap memusnahkan kristalisasi peradaban manusia yang terabadikan dalam lembaran buku. Bradury mengatakan jika novel ini menjadi sebuah karya satire bagi praktik pembatasan kebebasan berpendapat yang banyak ditemui lewat sensor dan pembredelan karya tulis. Tentu saja orang Indonesia akan mudah menemukan kefamiliaran antara tema yang dibawa Fahrenheit 451 dengan dunia intelektual negara ini terutama saat rezim orde baru masih berjaya dulu. Kini pun, walau kekang pemerintah terhadap gerak pemikiran manusia Indonesia sudah melonggar, namun tetap saja bisa ditemukan alasan-alasan semacam keyakinan agama dan perbedaan ideologi yang begitu menor digunakan untuk membubarkan paksa aktifitas intelektual.

Bukan cuma praktik pembrangusan kebebasan intelektual saja, lewat novelnya ini, Bradbury juga menyoroti pihak media massa yang melacurkan diri dengan menjajakan konten sampah ke tengah publik.

Setelah buku menjadi benda yang haram dikonsumsi, muncul pula obsesi berlebih terhadap opera sabun di televisi (yang sering kali disebut sebagai “dinding” dalam novel ini). Bradbury mengambarkan bagaimana efek menyeramkan ketiadaan distribusi pengetahuan dan asupan sampah berlebih dari televisi mampu mengubah peradaban menuju kejatuhan yang telak.

Kembali, tidak ada yang aneh dengan hal itu di mata kita. Tidak ada satu hari pun dalam seminggu manusia Indonesia puasa mengunyah sinema elektronik picis; entah yang produksi lokal sampai yang repot-repot jauh didatangkan dari luar negeri. Hal-hal seperti ini sudah menjadi prognosis Bradbury 66 tahun lalu, yang ia nubuatkan sebagai “cara terbaik untuk mematikan pikiran”.

Perpustakaan semakin sunyi, buku-buku bagus dihargai kurang ajar, terlupakan, gagal naik cetak, karena kualitas isi tak selalu berkorelasi dengan jumlah pembeli, dan di saat yang sama, jam tayang prime time begitu dinanti jutaan pemirsa demi melanjutkan kisah cinta remaja yang terlihat terburu-buru dewasa, pertikaian antara suami penyabar, istri yang tertindas, menantu dan paman yang licik, dan, yah, lain sebagainya.

Ada satu bagian menarik dalam novel ini saat Guy Montag menjadi buronan. Mengandalkan Robot Pemburu yang selalu menjalankan tugas sempurna sebagai mesin pelacak mematikan, seisi kota berusaha mengejar Montag yang kelimpungan menyembunyikan diri dari jerat kematian. Ketika akhirnya Montag berhasil lolos, polisi dan media massa yang bekerja sama dalam pengejaran ini terlanjur malu hingga akhirnya melakukan manipulasi keji demi  mengenyangkan ekspektasi publik yang lapar akan drama sensasional. Lagi-lagi, kita sebagai masyarakat Indonesia, sudah akrab dengan praktik tak etis seperti itu. Media sering kali hanya menjadi corong kepentingan yang bisa dimanipulasi demi mengoles citra diri orang-orang berkuasa, mengubahnya menjadi sosok idola, menutupi borok yang hanya bisa diendus oleh segelintir manusia saja.

Yang Terpenting Bukanlah Buku

Buku ini sudah mengalami banyak interpretasi. Seorang anggota dalam forum diskusi mengganggap jika Bradbury bahkan sempat mengubah pemaknaan pribadi di balik tulisannya sendiri! Tetapi satu hal yang bisa disaripatikan dari novel ini: walau bercerita soal pemusnahan buku, pembahasan utama “Fahrenheit 451” bukanlah soal buku. Saya menjadikan ucapan Faber, seorang profesor tua yang jadi sahabat dalam pelarian Montag, sebagai penutup yang pas untuk tulisan ini,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun