hukum yang berkeadilan perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai keadilan yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Satjipto Raharjdjo Seseorang yang pernah mengemukakan pandangan hukum yang kemudian dikenal dengan teori hukum progresif berpendapat bahwa dalam upaya penegakan hukum progresif , hukum bukan hanya sekedar apa yang termaktub didalam undang-undang (according to the letter), lebih daripada itu yang lebih penting merupakan spirit dan makna terdalam dari undang-undang (to very meaning). Maka penting bagi seorang penegak hukum untuk tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual namun juga harus dibekali dengan determinasi, rasa empati terhadap penderitaan bangsa, komitmen dan dedikasi yang disertai dengan keberanian untuk menyelesaikan permasalahan hukum diluar kebiasaan.
Dalam rangka melaksanakan penegakanDewasanya dalam rangka tegaknya keadilan yang kokoh, hakim yang menjadi corong hukum bukan hanya bertugas menjalanlankan apa yang termaktub didalam undang-undang belaka, lebih daripada itu hakim harus memperhatikan aspek nilai dari keadilan itu sendiri dengan tetap memperhatikan aspek prosedural dan kepastian hukum serta tidak kaku saat dihadapkan pada situasi yang memiliki kemungkinan besar membuat keputusan yang tidak memenuhi nilai-nilai dari keadilan itu sendiri. Hakim dituntut untuk dapat menemukan hukum (rechtvinding) yang didasarkan kepada asas hakim membuat hukum (judge made law) dengan menggali nilai nilai yang hidup dimasyarakat.
Serangkaian proses penggalian nilai-nilai yang hidup dimasyarakat tersebut menghasilkan suatu argumentasi hukum yang dapat dipakai oleh hakim selaku penegak hukum, terkhusus didalam perkara kepailitan. Kepailitan di indonesia diatur didalam undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (k-PKPU) dimana syarat untuk suatu entitas perusahaan dapat dimohonkan pailit diatur didalam pasal 2 ayat (1) junto pasal 8 ayat (4) yang mensyaratkan memiliki dua kreditur atau lebih, utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Persyaratan untuk melakukan permohonan kepailitan sangat sederhana namun dapat berimplikasi merugikan terhadap debitur yang perusahaanya masih memiliki peluang untuk melakukan serangkaian kegiatan usaha dengan disandarkan kepada laporan keuangan yang sehat.
Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang dianut dalam hukum kepailitan, merupakan makna yang memiliki arti bahwa kepailitan merupakan solusi yang hadir atas permasalahan debitur yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan malah sebaliknya yang menjadikan bahwa hukum kepailitan merupakan pranata yang dipakai untuk membangkrutkan perusahaan atau debitur. Asas Business Going Concern merupakan asas yang memiliki makna kelangsungan usaha. Orientasi dari asas ini adalah kelangsungan usaha sebuah entitas dan bukan berorientasi kepada kepailitan sebuah perusahaan. Asas kelangsungan usaha juga terdapat didalam Undang-Undang no.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (K-PKPU) namun tidak diatur secara eksplisit didalam bentuk butir-butir pasal, hal tersebut berpotensi menghasilkan sebuah argumentasi hukum yang keliru pada saaat hakim membuat keputusan apabila hakim tidak melakukan penalaran hukum terhadap suatu perkara dikarenakan hanya berpedoman secara tekstual kepada undang-undang kepailitan tersebut.
Permasalahan lain timbul karena budaya peradilan privat di indonesia yang masih berpedoman pada asas hakim pasif dikarenakan hukum privat mengatur kepentingan antar individu yang didalamnya terdapat batasan perorangan dengan konsep bahwa pencari keadilan yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara perdata. Hal tersebut dapat mengakibatkan hakim tidak aktif melakukan analisa terhadap laporan keuangan suatu perusahaan.
- Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Undang-Undang Kepailitan
Penalaran hukum adalah proses penggunaan alasan-alasan hukum(legal reasons) dalam menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam putusan hukum. Penalaran hukum harus memperlihatkan bagaimana eratnya hubungan antara logika dan hukum. Logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat dalam bidang hukum. Atau sebaliknya, ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya bersifat logis juga. Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul Essay in Legal and Moral Philosophy menyatakan bahwa "sifat logis" merupakan sifat khusus dari hukum, hal itu berarti bahwa dalam relasi-relasi timbal balik mereka, norma-norma hukum sesuai dengan asas-asas logika.
Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang dianut dalam hukum kepailitan, merupakan makna yang memiliki arti bahwa kepailitan merupakan solusi yang hadir atas permasalahan debitur yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan malah sebaliknya yang menjadikan bahwa hukum kepailitan merupakan pranata yang dipakai untuk membangkrutkan perusahaan atau debitur.
Dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai permohonan pailit yang berbunyi :
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Dalam dalam Pasal 8 ayat (4) menentukan pernyataan pailit diperiksa secara sederhana (sumir) dengan bunyi :
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
Bunyi dari pasal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam suatu permohonan pailit sangat mudah untuk dilakukan terhadap suatu badan usaha, dikarenakan tidak ditentukan syarat lain. Yang dimaksud sebagai syarat lain adalah mengenai kondisi dan kemampuan perseroan atau badan usaha sebagai debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi antara lain keuangan, asset-aset dan/ atau kekayaan yang dimiliki perseroan tersebut.
- Relevansi Penalaran Asas Business Going Concern didalam Undang-Undang Kepailitan
Going concern atau kelangsungan usaha merupakan suatu prinsip dasar yang berkaitan dengan keberlangsungan suatu perusahaan. Going concern menunjuk suatu entitas badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek. Bukti akan potensi dan kemampuan bertahan suatu badan usaha atau perseroan, dapat dibuktikan dalam bentuk laporan auditor selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam menilai apakah suatu perusahaan dapat tetap melangsungkan usahanya atau layak untuk dipailitkan.
Berdasarkan Blacks’s Law Dictionary kelangsungan usaha atau going concern dimaknai sebagai berikut:
“Going Concern’s An enterprise which is being carried on as a whole, and with some particular object in view. The term refers to an existing solvent business, which is being conducted in the usual and ordinary way for which it was organized. When applied to a corporation, it means that it continues to transact its ordinary business. A firm or corporation which, though financially embarrassed, continues to transact its ordinary business.”
Going concern diartikan sebagai suatu perusahaan yang sedang dijalankan secara keseluruhan dan dapat memperhatikan beberapa hal. Istilah ini mengacu pada sebuah kemampuan untuk dapat menyelesaikan permasalahan bisnis yang ada, yang dijalankan secara biasa dan wajar . ketika diterapkan pada sebuah perusahaan, itu berarti bahwa perusahaan tersebut terus bertransaksi bisnis secara wajar. Sebuah perusahaan atau korporasi, meskipun secara finansial mengalami permasalahan, terus bertransaksi secara wajar.
Undang-undang kepailitan yang berlaku saat ini di Indonesia belum merefresentasikan prinsip dasar dari pembentukan instrumen hukum tersebut. Suatu keharusan instrumen hukum kepailitan tersebut menjadi payung bagi pengkatan yang dilakukan melalui prosedur kolektif. Hukum kepailitan seharusnya pula mengakui masalah-masalah entitlements di luar aturan kepailitan, seperti kepentingan sosial. Hukum kepailitan adalah jawaban atas masalah kesulitan keuangan yang dialami oleh debitur. Kesulitan keuangan tersebut bukan dari masalah ekonomi semata, namun termasuk pula sebagai masalah moral, politik perseorangan, dan sosial yang berakibat kepada para pihak yang berkaitan dengan kesulitan keuangan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H