Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Si Kecil udah Jago Joget Tiktok, Si Paling Dewasa Malah Pandai Korupsi! Benarkah Sebejat Itu Moral Oknum Masyarakat Kita?

24 Desember 2024   09:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   13:54 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://antikorupsi.org/id/refleksi-hari-pendidikan-nasional-korupsi-sektor-pendidikan-masih-tinggi)

Di sela-sela hiruk-pikuk era digital, satu fenomena yang makin mencuat adalah betapa cepatnya anak-anak belajar mengikuti tren. Scroll sebentar di TikTok dan kita akan menemukan bocah-bocah berusia 5-10 tahun yang bisa mengikuti koreografi kompleks dengan luwesnya. Sementara itu, di halaman-halaman berita, nama-nama oknum dewasa yang jauh lebih "berpengalaman" berseliweran dengan satu tuduhan seragam: korupsi.

Mengapa dua kutub moral ini begitu kontras? Mengapa si kecil begitu cepat menyerap gerakan trendi sementara si paling dewasa lihai mencuri uang rakyat? Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih mendalam tentang kondisi moral masyarakat kita?

1) Anak-Anak Digital dan Kecepatan Belajar yang Luar Biasa

Kehidupan digital menawarkan akses ke informasi dan tren global dalam hitungan detik. Anak-anak yang lahir di era ini, yang kerap disebut "Digital Natives," menyerap informasi lebih cepat dari generasi sebelumnya. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada tahun 2022 saja, sekitar 60% anak-anak Indonesia yang berusia 5-12 tahun sudah aktif menggunakan media sosial.

Hal ini tak mengherankan, mengingat anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Ketika tren joget TikTok muncul, dalam hitungan hari bahkan jam, anak-anak bisa mempelajari gerakan-gerakan itu dengan cepat. Kemampuan ini didukung oleh faktor psikologis dan fisiologis: otak anak-anak memiliki plastisitas tinggi, membuat mereka lebih mudah meniru dan menyimpan informasi.

Sementara itu, apa yang bisa kita harapkan dari orang dewasa yang seharusnya sudah memiliki nilai-nilai moral yang kokoh?

2) Orang Dewasa: Penguasa Korupsi atau Korban Sistem?

Berbeda dengan anak-anak yang sibuk menyerap tren positif (walau terkadang cuma untuk hiburan), segelintir oknum dewasa memilih jalur yang merugikan masyarakat luas: korupsi. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang tahun 2023, terdapat 626 kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan pegawai negeri sipil. Bahkan, beberapa kasus melibatkan tokoh-tokoh terdidik dengan jabatan tinggi yang seharusnya menjadi contoh moral bagi masyarakat.

Namun, mengapa ini terus terjadi? Bukankah orang dewasa seharusnya sudah memiliki pemahaman yang matang tentang etika dan tanggung jawab?

Fenomena ini tak sesederhana soal "moral bejat." Ada banyak faktor yang menyumbang pada maraknya korupsi. Sebagian analis menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan, budaya permisif, dan sistem birokrasi yang kompleks membuka peluang untuk tindakan tidak bermoral. Dengan kata lain, korupsi sering kali bukan hanya hasil dari moral individu yang rusak, tetapi juga hasil dari sistem yang memberi celah untuk perilaku itu.

Tetapi, tetap saja, menyalahkan sistem tanpa introspeksi diri bukanlah solusi. Moralitas individu, yang seharusnya sudah dipupuk sejak kecil, memiliki peran besar dalam mencegah perilaku koruptif.

Di Mana Moralitas Terputus?

Perbedaan mencolok antara "si kecil jago joget" dan "si paling dewasa pandai korupsi" menimbulkan pertanyaan serius: kapan moralitas kita mulai goyah? Mengapa nilai-nilai positif yang seharusnya kita pelajari sejak kecil bisa terkikis seiring bertambahnya usia?

Dalam sebuah studi oleh Psikolog Universitas Indonesia, Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, disebutkan bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan figur otoritas, seperti orang tua dan guru. Jika anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian, nilai-nilai itu cenderung akan melekat hingga dewasa.

Sayangnya, ketika anak-anak tumbuh di lingkungan yang melihat korupsi sebagai "hal biasa," moralitas positif yang ditanamkan di masa kecil bisa terkikis. Dalam survei Transparency International tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Angka ini mencerminkan betapa korupsi telah menjadi fenomena yang mengakar.

Bayangkan seorang anak yang melihat berita tentang pejabat korupsi setiap hari. Apa yang mereka pikirkan tentang "kejujuran" dan "integritas" ketika orang dewasa di sekitarnya justru menunjukkan kebalikannya?

Harapan: Belajar dari Si Kecil

Meski kondisi ini terkesan suram, ada secercah harapan. Jika anak-anak mampu menyerap hal positif dengan cepat, mengapa kita tak belajar dari mereka? Bayangkan jika antusiasme dan ketekunan anak-anak dalam belajar joget TikTok dialihkan untuk belajar tentang kejujuran, empati, dan tanggung jawab.

Pendidikan moral dan karakter harus menjadi fokus utama, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Orang tua, guru, dan tokoh masyarakat harus menjadi teladan nyata dari nilai-nilai yang diajarkan. Anak-anak belajar dari meniru, dan mereka pantas meniru yang baik.

Selain itu, teknologi yang sering dituding sebagai "pengalih perhatian" sebenarnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk membangun moral. Konten edukatif yang kreatif, kampanye anti-korupsi di media sosial, dan cerita-cerita inspiratif bisa menjadi bagian dari solusi.

Kesimpulan: Dewasa Itu Bukan Soal Umur

Pada akhirnya, dewasa bukan soal usia, melainkan soal tanggung jawab moral. Jika si kecil mampu mempelajari tren dalam hitungan jam, si paling dewasa seharusnya mampu mempelajari integritas seumur hidup. Kita harus berhenti memandang korupsi sebagai "budaya," dan mulai melihatnya sebagai penyakit moral yang bisa dan harus disembuhkan.

Si kecil yang jago joget TikTok mungkin hanya sedang belajar mengekspresikan diri. Tapi si dewasa yang pandai korupsi? Itu tanda bahwa ada yang salah dengan sistem nilai yang kita anut.

Mari belajar dari anak-anak: cepatlah menyerap kebaikan, dan jangan biarkan moralitas terputus di tengah jalan. Jangan sampai kita dikenal sebagai bangsa yang hebat dalam menari, tapi lumpuh dalam bersikap jujur.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun