Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai salah satu daerah penghasil tambang terbesar di Indonesia, menjadi saksi bisu dari kisah pilu yang dialami oleh masyarakat adat setempat. Keberadaan tambang yang tersebar luas di daerah ini membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat adat, terutama di wilayah pedalaman. Meskipun kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional tidak dapat dipungkiri, harga yang harus dibayar oleh masyarakat adat begitu besar. Artikel ini membahas bagaimana aktivitas galian tambang di Kaltim meninggalkan jejak luka yang mendalam bagi masyarakat adat, baik dari segi lingkungan maupun kehidupan sosial mereka.
 Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal
Kalimantan Timur merupakan rumah bagi berbagai kelompok masyarakat adat seperti Dayak, Kutai, dan Banjar, yang telah mendiami wilayah tersebut selama berabad-abad. Masyarakat adat ini sangat bergantung pada hutan dan sungai sebagai sumber kehidupan. Hutan bukan hanya sekadar sumber penghidupan, tetapi juga menjadi bagian integral dari identitas budaya mereka. Kehidupan mereka begitu erat dengan alam, di mana kearifan lokal menjadi panduan dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Namun, masuknya aktivitas tambang, terutama batu bara, telah mengancam eksistensi masyarakat adat ini. Wilayah adat yang sebelumnya dijaga dan dilestarikan kini berubah menjadi lubang-lubang tambang raksasa.
 Dampak Lingkungan yang Merusak
Salah satu dampak paling nyata dari aktivitas galian tambang di Kaltim adalah kerusakan lingkungan. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.735 lubang bekas tambang yang terbengkalai di Kalimantan Timur. Lubang-lubang ini tidak hanya merusak lanskap alam tetapi juga mengancam keselamatan penduduk sekitar. Dalam kurun waktu 2011-2021, setidaknya 40 anak meninggal dunia akibat tenggelam di lubang tambang yang tidak direklamasi.
Kondisi air sungai yang menjadi sumber utama air bersih masyarakat adat juga semakin memburuk. Aktivitas tambang batu bara menghasilkan limbah beracun seperti merkuri dan arsenik yang mencemari sungai-sungai di sekitar area pertambangan. Hal ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat adat yang mengandalkan sungai untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan memasak. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan peningkatan kasus penyakit kulit dan gangguan pernapasan di wilayah yang dekat dengan lokasi tambang.
 Kehilangan Lahan dan Mata Pencaharian
Lebih dari sekadar kerusakan lingkungan, masyarakat adat juga harus kehilangan lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Proses perizinan tambang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka. Dalam banyak kasus, tanah adat diklaim sebagai tanah negara sehingga izin tambang dapat dikeluarkan tanpa persetujuan masyarakat lokal.
Menurut data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), sekitar 200.000 hektar lahan adat di Kaltim telah diambil alih oleh perusahaan tambang. Lahan yang dulunya digunakan untuk bertani dan berburu kini berubah menjadi lahan tambang yang gersang dan tidak bisa lagi ditanami. Kehilangan lahan ini menyebabkan masyarakat adat kehilangan sumber pendapatan utama mereka, sehingga memicu peningkatan kemiskinan di daerah tersebut.
 Dampak Sosial dan Budaya
Kerusakan lingkungan dan hilangnya lahan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi masyarakat adat, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya mereka. Upacara adat yang biasanya dilakukan di area hutan atau sungai kini sulit dilakukan karena wilayah tersebut telah rusak atau tercemar. Selain itu, masyarakat adat yang sebelumnya hidup secara mandiri kini bergantung pada bantuan luar untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Proses migrasi terpaksa dilakukan oleh sebagian masyarakat adat yang kehilangan lahan dan sumber penghidupan. Migrasi ini tidak hanya memisahkan mereka dari tanah leluhur tetapi juga menyebabkan disintegrasi sosial di komunitas mereka. Menurut penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdapat kecenderungan peningkatan konflik sosial di wilayah tambang, baik antar-masyarakat adat maupun dengan perusahaan tambang.
 Penegakan Hukum yang Lemah
Salah satu penyebab utama dari maraknya eksploitasi tambang di Kaltim adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun Indonesia memiliki peraturan yang cukup ketat terkait perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat, implementasinya di lapangan masih jauh dari kata optimal. Banyak perusahaan tambang yang beroperasi tanpa memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atau tanpa melakukan reklamasi setelah selesai menambang.
Selain itu, upaya masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-haknya sering kali dihadapkan pada intimidasi dan kriminalisasi. Para pejuang lingkungan dan tokoh adat kerap menjadi target ancaman oleh pihak-pihak yang tidak ingin aktivitas tambang mereka terganggu. Data dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mencatat bahwa terdapat lebih dari 60 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Kaltim selama 5 tahun terakhir.
 Upaya dan Harapan Ke Depan
Meskipun situasi tampak suram, ada beberapa langkah yang telah diambil oleh masyarakat adat dan organisasi pendukung untuk melindungi hak-hak mereka. Salah satunya adalah melalui gugatan hukum terhadap perusahaan tambang yang merusak lingkungan. Pada tahun 2022, AMAN berhasil memenangkan kasus hukum yang memaksa salah satu perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat di Kutai Kartanegara.
Selain itu, inisiatif pemetaan wilayah adat secara partisipatif juga mulai digalakkan. Dengan adanya peta wilayah adat yang diakui secara hukum, diharapkan masyarakat adat memiliki kekuatan lebih untuk menolak izin tambang di tanah mereka. Upaya ini juga diharapkan dapat memperkuat posisi tawar masyarakat adat dalam negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan.
 Kesimpulan
Aktivitas galian tambang di Kalimantan Timur telah meninggalkan jejak luka yang mendalam bagi masyarakat adat. Dampak kerusakan lingkungan, hilangnya lahan, dan gangguan terhadap kehidupan sosial-budaya menjadi harga yang harus dibayar oleh mereka yang sebenarnya tidak pernah menikmati manfaat dari eksploitasi sumber daya alam tersebut. Diperlukan kebijakan yang lebih tegas dari pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, serta penegakan hukum yang lebih konsisten terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan. Hanya dengan langkah nyata, jejak luka ini dapat mulai disembuhkan, dan masyarakat adat dapat kembali merajut kehidupan yang selaras dengan alam.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H