Dampak Sosial dan Budaya
Kerusakan lingkungan dan hilangnya lahan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi masyarakat adat, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya mereka. Upacara adat yang biasanya dilakukan di area hutan atau sungai kini sulit dilakukan karena wilayah tersebut telah rusak atau tercemar. Selain itu, masyarakat adat yang sebelumnya hidup secara mandiri kini bergantung pada bantuan luar untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Proses migrasi terpaksa dilakukan oleh sebagian masyarakat adat yang kehilangan lahan dan sumber penghidupan. Migrasi ini tidak hanya memisahkan mereka dari tanah leluhur tetapi juga menyebabkan disintegrasi sosial di komunitas mereka. Menurut penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdapat kecenderungan peningkatan konflik sosial di wilayah tambang, baik antar-masyarakat adat maupun dengan perusahaan tambang.
 Penegakan Hukum yang Lemah
Salah satu penyebab utama dari maraknya eksploitasi tambang di Kaltim adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun Indonesia memiliki peraturan yang cukup ketat terkait perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat, implementasinya di lapangan masih jauh dari kata optimal. Banyak perusahaan tambang yang beroperasi tanpa memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atau tanpa melakukan reklamasi setelah selesai menambang.
Selain itu, upaya masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-haknya sering kali dihadapkan pada intimidasi dan kriminalisasi. Para pejuang lingkungan dan tokoh adat kerap menjadi target ancaman oleh pihak-pihak yang tidak ingin aktivitas tambang mereka terganggu. Data dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mencatat bahwa terdapat lebih dari 60 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Kaltim selama 5 tahun terakhir.
 Upaya dan Harapan Ke Depan
Meskipun situasi tampak suram, ada beberapa langkah yang telah diambil oleh masyarakat adat dan organisasi pendukung untuk melindungi hak-hak mereka. Salah satunya adalah melalui gugatan hukum terhadap perusahaan tambang yang merusak lingkungan. Pada tahun 2022, AMAN berhasil memenangkan kasus hukum yang memaksa salah satu perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat di Kutai Kartanegara.
Selain itu, inisiatif pemetaan wilayah adat secara partisipatif juga mulai digalakkan. Dengan adanya peta wilayah adat yang diakui secara hukum, diharapkan masyarakat adat memiliki kekuatan lebih untuk menolak izin tambang di tanah mereka. Upaya ini juga diharapkan dapat memperkuat posisi tawar masyarakat adat dalam negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan.
 Kesimpulan
Aktivitas galian tambang di Kalimantan Timur telah meninggalkan jejak luka yang mendalam bagi masyarakat adat. Dampak kerusakan lingkungan, hilangnya lahan, dan gangguan terhadap kehidupan sosial-budaya menjadi harga yang harus dibayar oleh mereka yang sebenarnya tidak pernah menikmati manfaat dari eksploitasi sumber daya alam tersebut. Diperlukan kebijakan yang lebih tegas dari pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, serta penegakan hukum yang lebih konsisten terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan. Hanya dengan langkah nyata, jejak luka ini dapat mulai disembuhkan, dan masyarakat adat dapat kembali merajut kehidupan yang selaras dengan alam.