Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa yang Membuat Hidup di Kota Jakarta Terasa Begitu Keras?

10 November 2024   11:00 Diperbarui: 10 November 2024   11:16 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://blog.kazee.id/menelisik-tradisi-merantau-dan-stigma-jakarta-keras)

Jakarta, ibu kota Indonesia, adalah kota dengan sejuta harapan dan peluang. Namun, di balik segala hiruk-pikuk dan gemerlapnya, Jakarta menyimpan berbagai tantangan yang membuat kehidupan di sana terasa berat. 

Dari kemacetan yang tiada henti, kualitas udara yang memprihatinkan, hingga persaingan yang ketat di dunia kerja, banyak faktor yang menyulitkan warga Jakarta untuk menjalani hidup dengan tenang.

1. Kemacetan Lalu Lintas yang Tak Kunjung Usai

Salah satu aspek yang paling nyata dari kerasnya kehidupan di Jakarta adalah kemacetan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Menurut laporan dari TomTom Traffic Index, Jakarta termasuk dalam 10 kota paling macet di dunia pada tahun 2023. 

Kemacetan ini bukan hanya menghabiskan waktu, tetapi juga energi serta kesehatan mental warganya. Rata-rata warga Jakarta menghabiskan sekitar 4 hingga 5 jam per hari hanya untuk bepergian dari rumah ke kantor dan kembali lagi. Dampak negatif dari kemacetan ini bahkan lebih besar bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran kota, yang harus rela mengorbankan waktu lebih banyak lagi.

Selain itu, kemacetan juga berkontribusi terhadap meningkatnya emisi karbon di kota tersebut. Setiap hari, ribuan kendaraan pribadi dan angkutan umum mengeluarkan polutan berbahaya yang mengotori udara. 

Dampak dari polusi udara ini sangat serius; Jakarta sering tercatat sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, seperti yang dilaporkan oleh IQAir pada tahun 2024. Kualitas udara yang buruk ini dapat memicu berbagai penyakit pernapasan dan meningkatkan risiko kesehatan bagi penduduknya.

2. Biaya Hidup yang Tinggi

Kehidupan di Jakarta tidaklah murah, terutama bagi mereka yang tidak memiliki penghasilan tinggi. Biaya kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan transportasi, terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Rata-rata biaya hidup per bulan untuk seorang individu di Jakarta mencapai Rp 7 juta hingga Rp 10 juta, tergantung pada gaya hidup dan lokasi tempat tinggal.

Harga sewa tempat tinggal juga merupakan salah satu tantangan besar. Di pusat kota, harga sewa apartemen kecil bisa mencapai Rp 4 juta hingga Rp 6 juta per bulan, sementara rumah di pinggiran kota pun kini ikut melonjak. 

Akibatnya, banyak masyarakat yang terpaksa tinggal di kawasan yang lebih jauh dari pusat kota untuk mengurangi beban biaya sewa. Hal ini memperpanjang jarak tempuh mereka ke tempat kerja dan pada akhirnya menambah tekanan fisik serta mental.

3. Persaingan Kerja yang Ketat

Sebagai pusat ekonomi dan bisnis, Jakarta menawarkan banyak peluang pekerjaan, namun ini juga berarti persaingan kerja yang semakin sengit. Data dari BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Jakarta cukup tinggi, dengan angka sekitar 8% pada tahun 2023. Kondisi ini diperparah oleh banyaknya pencari kerja dari berbagai daerah yang datang ke Jakarta, berharap dapat meraih pekerjaan yang lebih baik.

Bagi mereka yang sudah bekerja, tekanan untuk bertahan dan bersaing juga tidak kalah berat. Budaya kerja di Jakarta yang kompetitif seringkali menuntut para pekerja untuk bekerja lebih keras dan lebih lama. Banyak perusahaan yang mengharapkan karyawannya untuk bekerja lembur tanpa kompensasi yang memadai, bahkan menuntut hasil yang lebih dari yang seharusnya. Hal ini menyebabkan banyak pekerja mengalami kelelahan fisik dan mental, yang pada gilirannya berpengaruh buruk pada kesehatan mereka.

4. Keterbatasan Ruang Hijau dan Rekreasi

Jakarta dikenal sebagai kota yang padat dengan gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya. Sayangnya, keterbatasan ruang hijau di kota ini menjadi masalah serius yang mempengaruhi kualitas hidup penduduk. Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, luas ruang terbuka hijau (RTH) hanya sekitar 9,8% dari total luas kota, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan 20% untuk sebuah kota besar.

Minimnya ruang hijau membuat warga kesulitan untuk mencari tempat bersantai dan beristirahat dari penatnya kehidupan kota. Pilihan rekreasi seringkali terbatas pada pusat perbelanjaan yang tentunya berbayar dan hanya menambah pengeluaran. Hal ini membuat warga Jakarta semakin sulit untuk mengakses kegiatan yang dapat memperbaiki kesehatan mental dan fisik mereka.

5. Tantangan Sosial dan Kesenjangan Ekonomi

Jakarta juga menghadapi masalah kesenjangan ekonomi yang sangat nyata. Di satu sisi, kita bisa melihat kawasan elit dengan gedung-gedung modern dan rumah-rumah mewah; di sisi lain, terdapat permukiman padat penduduk dengan infrastruktur yang terbatas. Kesenjangan ini menimbulkan tantangan sosial, di mana warga di kawasan kumuh atau padat penduduk kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. BPS melaporkan bahwa sekitar 25% warga Jakarta hidup di bawah garis kemiskinan relatif pada tahun 2023.

Hal ini juga membuat angka kriminalitas di Jakarta cukup tinggi, dengan data dari Kepolisian Metro Jaya menunjukkan peningkatan kasus kejahatan jalanan selama tiga tahun terakhir. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang tinggi mendorong beberapa orang untuk melakukan tindakan melanggar hukum demi bertahan hidup. Keadaan ini menambah ketidaknyamanan bagi warga Jakarta yang harus selalu waspada terhadap risiko kejahatan.

Penutup: Menyikapi Kerasnya Kehidupan Jakarta

Hidup di Jakarta memang penuh tantangan. Namun, banyak penduduk yang memilih bertahan karena mereka melihat adanya peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka di ibu kota. 

Pemerintah pun terus berupaya meningkatkan kualitas hidup warganya, seperti dengan memperbaiki transportasi umum, meningkatkan ruang hijau, dan mengatasi polusi. Bagi warga Jakarta, kerasnya kehidupan di kota ini bisa menjadi motivasi untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan.

Namun, bagi mereka yang belum siap dengan segala tekanan ini, mungkin ada baiknya mempertimbangkan untuk mencari alternatif tempat tinggal yang lebih tenang. Bagaimanapun, hidup di Jakarta mengajarkan kita tentang arti ketangguhan dan keberanian menghadapi tantangan yang ada.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun