Akibatnya, banyak masyarakat yang terpaksa tinggal di kawasan yang lebih jauh dari pusat kota untuk mengurangi beban biaya sewa. Hal ini memperpanjang jarak tempuh mereka ke tempat kerja dan pada akhirnya menambah tekanan fisik serta mental.
3. Persaingan Kerja yang Ketat
Sebagai pusat ekonomi dan bisnis, Jakarta menawarkan banyak peluang pekerjaan, namun ini juga berarti persaingan kerja yang semakin sengit. Data dari BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Jakarta cukup tinggi, dengan angka sekitar 8% pada tahun 2023. Kondisi ini diperparah oleh banyaknya pencari kerja dari berbagai daerah yang datang ke Jakarta, berharap dapat meraih pekerjaan yang lebih baik.
Bagi mereka yang sudah bekerja, tekanan untuk bertahan dan bersaing juga tidak kalah berat. Budaya kerja di Jakarta yang kompetitif seringkali menuntut para pekerja untuk bekerja lebih keras dan lebih lama. Banyak perusahaan yang mengharapkan karyawannya untuk bekerja lembur tanpa kompensasi yang memadai, bahkan menuntut hasil yang lebih dari yang seharusnya. Hal ini menyebabkan banyak pekerja mengalami kelelahan fisik dan mental, yang pada gilirannya berpengaruh buruk pada kesehatan mereka.
4. Keterbatasan Ruang Hijau dan Rekreasi
Jakarta dikenal sebagai kota yang padat dengan gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya. Sayangnya, keterbatasan ruang hijau di kota ini menjadi masalah serius yang mempengaruhi kualitas hidup penduduk. Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, luas ruang terbuka hijau (RTH) hanya sekitar 9,8% dari total luas kota, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan 20% untuk sebuah kota besar.
Minimnya ruang hijau membuat warga kesulitan untuk mencari tempat bersantai dan beristirahat dari penatnya kehidupan kota. Pilihan rekreasi seringkali terbatas pada pusat perbelanjaan yang tentunya berbayar dan hanya menambah pengeluaran. Hal ini membuat warga Jakarta semakin sulit untuk mengakses kegiatan yang dapat memperbaiki kesehatan mental dan fisik mereka.
5. Tantangan Sosial dan Kesenjangan Ekonomi
Jakarta juga menghadapi masalah kesenjangan ekonomi yang sangat nyata. Di satu sisi, kita bisa melihat kawasan elit dengan gedung-gedung modern dan rumah-rumah mewah; di sisi lain, terdapat permukiman padat penduduk dengan infrastruktur yang terbatas. Kesenjangan ini menimbulkan tantangan sosial, di mana warga di kawasan kumuh atau padat penduduk kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. BPS melaporkan bahwa sekitar 25% warga Jakarta hidup di bawah garis kemiskinan relatif pada tahun 2023.
Hal ini juga membuat angka kriminalitas di Jakarta cukup tinggi, dengan data dari Kepolisian Metro Jaya menunjukkan peningkatan kasus kejahatan jalanan selama tiga tahun terakhir. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang tinggi mendorong beberapa orang untuk melakukan tindakan melanggar hukum demi bertahan hidup. Keadaan ini menambah ketidaknyamanan bagi warga Jakarta yang harus selalu waspada terhadap risiko kejahatan.
Penutup: Menyikapi Kerasnya Kehidupan Jakarta